(Pikiran Rakyat, 1983) Penampilan Sebuah Karya Tafsir: “DOR” Putu Wijaya digarap “Teater Kosong”.

Penampilan Sebuah Karya Tafsir:

“DOR” Putu Wijaya digarap “Teater Kosong”

Oleh:  Aat Soeratin

 

ADA yang menarik dalam stiap drama Putu Widjaja. Kebebasan penuh penggarap untuk menafsirkan naskah mengkili-kili kita untuk menanganinya. Kreativitas serasa ditantang, wawasan dipertanyakan dan kekayaan imajinasi dilongok kedalamannya. Hampir dalam semua naskah dramanya sejak “Aduh”, “blong”, “Los” dan banyak lagi yang selalu memasalahkan konflik sosial berbagai macam golongan masyarakat dengan satu logika. Logika awam. Dan ini tidak berarti tidak pekat. Dialog kadang terasa bernas, bernilai, tapi jika diamati secara mendalam tidak membidik sasaran apa-apa.

Dialog yang ceplas-ceplos, lugu dan terkadang  sekenanya keluar dari alur permasalahan yang sedang diperbincangkan untuk tiba-tiba belok kembali pada masalahnya setelah diputar-putar dijungkirbalikkan, ditambah-tambah dan dibesar-besarkan, selalu muncul dalam setiap lakon Putu Widjaja. Hal ini memberi imaji kita bahwa peran dalam naskah Putu Widjaja adalah orang-orang yang enggan berpikir apa yang diucapkannya, dan apa yang diucapkan orang lain sehingga menciptakan suasana – kadang-kadang- perbincangan yang tidak bersambut.

Dengan demikian karakter  pemeranan yang mungkin dihadirkan adalah karakter orang-orang yang lugu atau juga orang-orang yang bodoh namun sok tahu.

Enaknya, pementasan pada garis besarnya bila digarap dalam “tempo tinggi” sebab pemeran dituntut mewatakkan orang yang harus dengan cepat dan sigap menanggapi masalah yang tiba-tiba datang kendati opininya ngaco. Cuma orang-orang yang bodoh tapi sok tahu yang akan mengucapkan sesuatu sebenarnya tidak bermakna apa-apa, sesuatu yang tidak tepat menanggap masalah, dengan amat yakin dan menggebu-gebu seolah hasil pemikirannya adalah sebuah penemuan baru yang mencengangkan.

Dialog jadinya asal jalan sehingga dengan enak Putu Widjaja kadang menyerempet masalah-masalah yang rawan, yang terkadang tidak  relevan dengan kemungkinan tema naskah yang diduga orang, tanpa merasa bahwa itu adalah sebuah penyimpangan. Karenanya, suasana humor – akibat dari ceplosan “konyol” – muncul di sana-sini di tengah-tengah perdebatan orang-orang yang berlagak pemikir. Publik tertawa, tanpa merasa bahwa mungkin mereka mentertawakan dirinya sendiri.

Ada beberapa pengamat yang mengatakan bahwa kendati Putu memberikan kebebasan yang sepenuhnya untuk menafsirkan naskahnya, namun lakon-lakonnya dapat menjebak ke dalam “gaya” Putu Widjaja.

Justru karena takut terjebak ke dalam (apa yang disebut) “gaya” Putu Widjaja, penggarap lalu membuat “anti”nya. Penafsiran – kendati bebas – jadi serampangan sehingga memberikan kesan mengada-ada, tidak mempunyai bentuk dan tidak menunjukkan suatu kesatuan. Penggarap jadi lupa akan hakekat sebuah tontonan yang hampir selalu diisyaratkan Putu Widjaja dalam setiap naskahnya.

Dituntut kerja kolektif yang amat kompak dan akurat.

Inilah barangkali hal yang menarik dari setiap sandiwara Putu Widjaja.

“DOR” drama oleh Putu Widjaja – memasalahkan sebuah peristiwa hukum. Seorang putra Gubernur yang baik, ganteng dan terpuji tiba-tiba menembak mati seorang pelacur dari kelas murahan dan ini merupakan peristiwa pembunuhan yang paling keji selama itu

Hakim, yang harusnya memberi putusan pengadilan, adalah sobat Gubernur tersebut lagipula dia masih dibayangi sebuah kesalahan ketika beberapa tahun lewat dia memvonis seorang wanita yang diduga membunuh padahal sebenarnya tidak.

Di sinilah timbul konflik. Dan seperti biasanya, amsalah kemudian dibesar-besarkan. Beberapa pihak mulai dari pelayannya, sobat, para pelacur yang ingin mendirikan tugu peringatan untuk rekannya yang tertembak itu, arwah orang yang pernah di vonisnya, pacar tertuduh dan akhirnya masyarakat ikut nimbrung.

Masalah jadi melebar, pertanyaan-pertanyaan yang sengit menyudutkan hakim. Kebenaran harus dipisahkan dengan kejujuran, keadilan harus dibedakan dengan kepatutan.

Hakim ingin menyodorkan sebuah keadilan namun orang-orang menginginkan lahirnya suatu peristiwa kepahlawanan lantaran kebetulan tertuduh adalah putra seorang pimpinan.

Kemungkinan putusan adalah tertuduh dijatuhi hukuman karena setiap kejahatan musti diberi ganjaran. Atau dibebaskan dari tuduhan pembunuhan keji agar masyarakat tersinggung marah    dan meletup mengganyang dengan hukuman yang lebih tepat.

Konflik-konflik berjalan seru dan akhir cerita bisa jadi bermacam-macam sesuai dengan alternatif putusan mana yang dipilih hakim.

Teater Kosong Bandung – yang sudah lama absen – akan mementaskan drama ini Rumentang Siang Tanggal 11 hingga 13 Pebruari 1983. Tojil, Agus Suwardi, Abang Yudiana, Gom Gom, Ina Uci, Endah, Nuri, merry, adalah sebagian dari pendukung pementasan yang berjumlah lumayan banyak.

Musik digarap oleh siswa-siswa sekolah Musik Harry Rusli dikomandani oleh Lucky Podisc.

Kali ini, Teater Kosong menampilkan para pemain barunya ditangani oleh Abu Tojil sebagai sutradara. Seperti pada akhir naskah, yang menawarkan improvisasi atau kebebasan penuh kepada sutradara untuk membuat akhir cerita, maka sutradara dituntut untuk jeli mengintip masalah.

Sumber:  Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 8 Pebruari 1983.

teater-kosong

Tinggalkan komentar