(Merdeka, 1982) Indro Tranggono: Teater Modern Masa Datang, Teater Kebutuhan

Teater Modern Masa Datang:  Teater Kebutuhan

Oleh: Indro Tranggono

 

Teater modern Indonesia – lebih mungkin sebagai hasil imbasan dari konsep teater barat – selain mampu sebagai wahana ekspresi juga mampu sebagai wahana komunikasi. Sebagai kegiatan estetis, teater telah menjadikan pelibat menjadi terlain impuls-impuls dalamnya (internal) dalam menagkap gejala dunia luar (eksternal) untuk diekspresikan dalam bentuk estetis.   Produk ekspresi itu, mencoba dikomunikasikan dengan masyarakat sebagai penikmat, untuk kemudian masyarakat memberikan responsisinya (tanggapan). Di sini terjadi interaksi budaya yang membawa pengaruh pada ketinggian persepsi masing-masing.

Munculnya teater modern yang berteberan di kampung-kampung, kampus-kampus, sekolah-sekolah, dan lain-lain merupakan gelagat yang baik pada perkembangan teater itu sendiri. Tumbuhnya teater yang makin melebar di tengah masyarakat yang populis ini, menurut Emha Ainun Nadjib (yang dikemukakan pada pertemuan Teater 1980 di Jakarta) adalah bahwa hal tersebut bukan lagi karena adanya “nucles” ialah seorang yang berniat dan berbakat drama yang mencari teman-temannya dari kampung-kampung mana saja untuk interes yang sama, sehingga merupakan satu “kelas” yang tersendiri. Teater memang mulai diminta, dibutuhkan oleh situasi kemauan masyarakat.   Dus, teater bukan lagi benih yang ditanam melainkan mulai tumbuh sendiri di ladang masyarakat secara kultural (lihat, Emha Ainun Nadjib, Teater Sebagai Perspektif baru Generasi Muda, Basis September 1980)

Gambaran di atas adalah gambaran “intern” dari dunia teater itu sendiri. Apabila realitas ini kita anggap sebagai indikator tentang adanya penyangga kebudayaa, optimisme Emha memang betul. Namun kini masalahnya adalah bagaimana teater modern yang telah berkembang itu mampu menarik masyarakat untuk memahami, menghargai, dan juga membutuhkan.

Ini kasus klasik, yang kerap kita hadapi, bahwa sampai kini, apa yang dinamakan teater modern masih berjarak dengan masyarakat kita. Masyarakat yang berhasil digalang oleh kaum teaterawan masih sangat kecil, ialah lapisan masyarakat kita yang punya persepsi maju: seniman, mahasiswa, cendekiawan dan peminat lainnya.

Di Yogya, teater yang terbentuk masih merupakan teater solidaritas, demikian tulis Linus Suryadi AG dalam catatan kebudayaan. Artinya peristiwa pemanggungan teater masih harus dukung sikap penonton yang solider; karena teman, solidaritas terhadap sesama seniman dan lain-lain. Dan gelagat itu ternyata membentuk semacam fanatisme pada masyarakat penonton di Yogya. Teater Stemka  pimpinan Landung Rusyanto, Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno, Teater Alam pimpinan Azwar AN, Gong Studio (Eks Bengkel Teater) pimpinan Edy Haryono, Teater Muslim Pimpinan Pedro Sudjono dan lain-lain, masing-masing punya masyarakat penonton di Yogya. Konon hal yang hampir sama terjadi pula pada Teater Mandiri-nya Putu Wijaya, Teater Saja-nya Ikra Negara, Teater Populer-nya Teguh karya, Teater Kecil-nya Arifin C. Noer, Teater Koma-nya N. Riantiarno, di Jakarta. Umumnya pementasan mereka hanya mampu bertahan paling lama tiga hari – selain Putu dengan Mandiri-nya yang konon mampu pentas sepuluh hari – itupun dengan penonton yang tidak konstan.

Teater modern – yang berkembang di Indonesia atas jasa WS Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Umar Kayam dan lain-lain – adalah juga produk dari masyarakat budaya yang sedang mengubah bentuk/mengalami proses “perubahan” bentuk; satu teater yang memantulkan daya imajinasi yang hidup dari masyarakat yang sedang mengubah bentuk; satu teater yang mengundang tanggapan dan dialog yang ramai dari khalayak (audience) yang besar dan luas  (lihat, Umar Kajam, Membangun Teater Kontemporer di Yogyakarta, Seni Tradisi Masyarakat, SH, 1981). Di sini muncul satu pertanyaan yang mendasar: mampukah teater kontemporer itu berdialog ramai dengan masyarakat besar dan luas? Kenyataannya menunjukkan bahwa teater modern masih dalam tahap pengenalan: belum mampu hadir secara persuasif dengan masyarakat, meski secara sadar masyarakat tanggap bahwa apa yang ditampilkan itu adalah cerminan darinya. Obsesi masyarakat sebagai sumber gejala sosial budaya – yang coba ditafsirkan oleh kaum teaterawan lewat jamahan kreativitas keseniannya – ketika muncul di atas kesadaran   masyarakat belumlah mampu mengadakan penetrasi penuh dan spontan Persenjangan (gap) yang muncul itu bisa disebabkan oleh dua faktor yang mendasar:

  1. Faktor intern (dunia dalam teater modern itu sendiri) ialah faktor yang berkenaan dengan intensitas penggalian mereka terhadap teater yang menyangkut segi kualitas, mampukah mereka dalam rutinitas giatnya itu memberi nilai. Ini menyangkut kejujuran, kesetiannya diuji waktu, inovasi (penemuan) di dalam “menyatakan: rekaman gejala sosial budaya masyarakat dalam bentuk yang disepakatinya.
  2. Faktor ekstern ialah faktor yang menentukan berhasil tidaknya teater modern menyajikan segenap totalitas kreatifvitasnya kepada masyarakat. Ini menyangkut pendekatan pemahaman terhadap obsesi masyarakat dan lain-lain

Teater modern dalam rangka “men-transfer”/sosialisasi ide estetis tentang tata nilai keluhuran manusia amat ditentukan oleh bertemunya dua faktor di atas, yang mampu menggamit tangan masyarakat dalam kebersamaan gerak  budayanya, sehingga diharapkan  tidak hanya melahirkan apresian semata, namun masyarakat menjadi punya rasa ikut handarbeni (rasa memiliki dengan penuh kecintaan) kepada teater modern. Fase ini dicapai dalam rangka menumbuhkan rasa butuh pada diri masyarakat terhadap teater modern.

Teater kebutuhan

Apabila masyarakat boleh kita tatap sebagai ladang budaya  yang potensial untuk meenumbuhkan benih-benih teater modern ada di dalamnya – kesenian, sementara para pekerja teater itu kini tengah tekun menggarapnya, menyirami, merabuki, dan menyiangi, sedangkan masyarakat mampu sebagai penjaga dan konsumen aktif, secara optimis teater modern mampu eksist sebagai teater kebutuhan. Untuk mencapai tahap itu, perlu dukungan antara lain:

Strategi Pengembangan:

Strategi pengembangan ini menyangkut pada pengalaman penggarapan teater, pengkayaan akan pengalaman-pengalaman baru yang bisa ditempuh dengan workshop, ceramah-ceramah, observasi, dan pertinggian frekuensi (tingkat keseringan), pementasan yang didukung oleh fasilitas yang memadai.

Penggarapan Medan:

Diharapkan teater juga mampu menjadi sandaran hidup. Untuk itu, perlu penggarapan “pasar” ialah satu fase ketika teater modern itu “dijajakan” di masyarakat. Sampai kini, dunia teater hanya mahir  menciptakan tontonan, bukan penonton. Di sinilah apra pekerja./penjaja itu dibutuhkan.

Adanya Suasana Kreatif

Suasana kreatif yang dimaksud ialah terciptanya suasana percakapan yang akrab dalam masyarakat dengan teater. Karena betapapun kondisi teater itu tetap butuh untuk diperbincangkan. Di sini perlu penulisan naskah, kritikus (bukan penulis kritik semata) dan pengamat. Dalam konteks ini Putu Wijaya mengatakan bahwa untuk perkembangan teater modern Indonesia, butuh perimbangan beberapa sektor secara harmonis. Bidang penulisan tidak akan berkembang kalau tidak ada pementasan; kegiatan pementasan tidak akan laju kalau tidak didukung oleh penulisan kritik dan apresiasi. Apresiasi tidak akan terlaksana jika tidak ada kompromi dan perimbangan antara pementasan yang mapan dan pementasan eskperimental. Dan perimbangan itu tidak akan dapat terlaksana jika tidak ada ikatan batin, ikatan batin yang berupa jaminan hidup. Dan jaminan hidup itu bisa menentramkan bila kemudian ada pola yang baik, sehingga membahagiakan tidak hanya sutradara tetapi juga pemain dan pekerja-pekerja panggungnya. (lihat, Putu Wijaya, Catatan Perkembangan teater Indonesia, Analisis Kebudayaan, No. 2, 1980).

Tiga butir pandangan di atas merupakan sendi penentu untuk berdirinya rangka-rangka teater secara utuh. Ia mampu berdiri sejajar secara fungsional dengan segi kehidupan yang lain. Bahwa dengan teater pun masyarakat mampu terpenuhi akan kebutuhan spritualnya, yang mampu sebagai motivator untuk menggali potensinya sebagai makhluk budaya, sosial, agama. Dengan begitu teater modern tidak hanya bertujuan menghibur semata. Ia mampu hadir sebagai kelengkapan hidup manusia. Teater tetap eksis sebagai peristiwa sosial, politik ritual dan lain-lain. Dengan tersenyum, barangkali kita bisa sepakat dengan kata Putu, bahwa …. Dan setiap pekerja teater boleh menganggap telah ikut berbakti kepada tanah air karena telah berusaha sebaik-baiknya menjadi salah satu batu yang sedang disusun dalam tembok sejarah. Ah, benar juga (***)

Sumber: Harian Merdeka, 3 Pebruari 1982

Tinggalkan komentar