(Horison, 1976) Drama “Lingkaran Kapur Putih”, Bengkel Teater

Drama “Lingkaran Kapur Putih”

Oleh: Bambang Bujono

Mei 1978)WS Rendra (sumber, Tempo, 13

Mei 1978)WS Rendra (sumber, Tempo, 13

Tersebut di sebuah propinsi di wilayah negara Kaukasia. Propinsi itu diperintah oleh Raja muda Georgi  Abashvilli (Gegek Hang Andika). Karena kelalimannya timbullah pemberontakan yang dipimpin oleh pangeran Igo Kashbeki (Iwan Burnani Toni). Dalam pemberontakan itu Abashvilli terbunuh, dan istrinya Natella Abashvilli, yang lebih mementingkan keselamatan harta bendanya, meninggalkan Mikael, bayinya yang baru berusia beberapa bulan.

Untunglah ada Grushka (Sitoresmi Rendra), gadis pelayan istana yang sempat menyelamatkan bayi itu.

Grushka membawa bayi itu ke gunung, ke rumah kakaknya. Malang, karena tabiat istrinya yang pelit itu dengan alasan bayi Grushka tak jelas siapa ayahnya, akhirnya Gruskha dikawinkan dengan seorang yang kata kakaknya menjelang ajal. Ternyata pengantin lelaki masih segar bugar. Karena perkawinan ini memang hanya dimaksudkan oleh Grushka untuk menyelamatkan Mikael dan ia sendiri sudah bersumpah setia kepada Simon Shashava (Bram Makakekum), kesulitan pun tak bisa dihindarkan. Namun akhirnya Grushka berhasil lepas dari lelaki itu, dan sempat mengasuh Mikael hingga tumbuh menjadi seorang bocah sampai pemberontakan mereda. Ketika itulah seorang utusan Natella yang mencari Mikael menemukan persembunyian Grushka.

Seorang juru tulis desa (Rendra) bernama Azdak, yang karena kalutnya suasana telah duduk sebagai hakim di suatu kantor kehakiman, Adzak inilah yang diserahi kewajiban memutuskansiapakah yang berhak atas Mikael: karena Natella dan Grushka masing-masing mengaku sebagai ibu kandung anak itu. Tentu saja hakim gadungan ini ak bisa memutuskan perkara dengan wajar: tapi dalam hal ini justru, mungkin, adil.

Disuruhnya polisi desa (Untung Basuki) yang jadi pembantunya membuat lingkaran dengan kapur putih di lantai. Kemudian Mikael disuruhnya berdiri dalam lingkaran tersebut. Nah, siapa diantara kedua orang yang mengaku sebagai ibu anak itu bisa menarik mikael keluar dari lingkaran, dialah yang berhak atas Mikael. Maka Grushka pun memegang tangan kanan Mikael, dan Natella tangan kiri. Namun sesaat sebelum terjadi tarik menarik antara kedua mereka, Grushka melepaskan tangan anak itu. Kenapa? Karena ia tidaktega untuk menyakitinya. Lebih baik ia mengalah, biarlah Mikael ikut Natella, tapi tak usah mengalami siksaan yang tolol ini. Di sinilah Azdak bijaksana. Mikael diserahkannya kepada Grushka, karena ia lebih dari Natella, menyayangi anak itu.

i Istora Senayan malam itu, 31 Januari lalu. Lebih dari ¾ tempat duduk terisi. Rendra bersama Bbengkel Teater ternyata masih mengundang penonton: kelihatannya, sebagian besar dari penonton itu adalah anak-anak muda, yang bersorak, bertepuk tangan apabila dari panggung terdengar protes sosial: “Apakah kalau kamu tentara bisa diajak bicara”, “Pembangunan jalan hanyalah bagi kereta-kereta, kendaraan rakyat makin tersisih”, dan sebagainya lagi.

Seperti biasanya pertunjukan ini berjalan dengan setting karya Rudjito, dan musik yang dipimpin oleh Sunarti Rendra . Panggung kali ini memberikan imaji sebuah pasar: dengan kerangka besi dan kain-kain yang disampirkan melambai yang membentuk semacam warung-warung. Sebuah lampu yang menyorot putih di lantai sebelah kanan panggung, ternyata memang fungsional: pada suatu adegan sorot lampu itu memang menjelma menjadi sebuah sungai. Hanya kostum kali ini Bengkel Teater benar-benar kedodoran.  Tak ada kesatuan imaji.   Seperti mereka, para pemain itu, masing-masing berpakaian menurut kesenangan masing-masing.

Ruang istora senayan yang begitu luas itu memang telah menelan dialog, sementara gerakan-gerakan pemain terasa dibikin-bikin dan kurang darah. Maka waktu terasa berjalan  bak siput. Yang masih memaku penonton di tempat duduk masing-masing barangkali karena mereka tahu, bahwa Rendra akan turun main. Benar, kira-kira lewat waktu pertengahan pertunjukan, Azdak si juru tulis itu keluar dengan ayam curiannya. Tepuk tangan bagaikan sudah direncana. Tiba-tiba suasana-pun berubah: lebih meriah, lebih bersemangat. Dan di panggung, seorang bintang telah menyedot daya tarik dari pemain-pemain lainnya, yang memang lemah, kepadanya sendiri: Rendra, si Azdak itu. Maka waktu bukan lagi siput yang berjalan, tapi mungkin gerobak yang penuh muatanyang ditarik seekor kuda tua. Sementara pengendara gerobak itu dengan semangatnya mencoba merangsang lari kuda, apa boleh buat, kalau tenaga tiada dan beban itu sungguh berat.  Taruhlah pengendara itu Rendra, dan kuda plus gerobak itu drama ini, maka ketika pertunjukan usai dan seorang penonton menengok melihat arlojinya yang menunjuk jam 00.45, tak urung makian terlontar dari mulutnya.

Mengapa Lingkaran Kapur Putih yang disadur rendra dari karya Bertold Brecht menjadi begitu membosankan? Protes sosial yang disisipkan ke dalamnya, yang itu-itu juga, justru bak lumpur yang menghambat waktu berjalan. Jawaban itu barangkali bisa ditemukan dalam adegan ketika si Azdak menjadi hakim. Untuk mengesankan bagaimana kurang ajarnya hakim ini, disuguhkan adegan sejumlah perkara yang harus diputuskannya: dan itu lama sekali. Naskah Brecht ini kemudian jadi melebar dipaksa-paksa, seolah-olah sebuah pertunjukan besar harus makan waktu panjang. Atau mungkin untuk memuaskan sponsor, Sanggar Keswari, bahwa ia tak sia-sia membayar banyak karena drama ini memang panjang. Dan ini bisa dijadikan dasar pertnyataan bahwa rendra memang komunikatift Tapi toh tak bisa dijadikan dasar kriteria apakah pementasan ini baik atau buruk. Dan setelah “Perjuangan Suku Naga” yang membosankan, setelah “Egmond” menyuruh penonton meninggalkan tempat duduk sebelum drama itu usai, kini “Lingkaran kapur Putih” memang tak jauh membosankan dari kedua drama yang mendahuluinya itu: kalau tak lebih lagi (BB).

Sumber: Majalah Horison, Nomor 2 tahun XI, Pebruari 1976

Tinggalkan komentar