(Aneka, 1958) “Mutiara dari Nusa Laut”, kembali Dipanggungkan Sesudah 15 Tahun

“Mutiara dari Nusa Laut”,

kembali Dipanggungkan Sesudah 15 Tahun

Oleh: Gajus Siagian

 

Mutiara dari Nusa Laut

Adegan “Mutiara Dari Nusa Laut” karya dan disutradarai oleh Usmar Ismail, tahun 1958

Kaum seniman dan kaum militer adalah dua golongan yang masing-masing mempunyai lapangan dan dua dunia yang berlainan satu sama lainnya.  Tidak mudah mencari titik pertemuan antara kedua golongan ini kalau mereka hanya bertolak dari pandangan hidup dan tugas masing-masing. Tetapi jika kita menyelami sampai ke intinya, maka nampak jugalah dasar persamaan antara kedua golongan ini yang cukup kuat untuk kerjasama. Yakni cita-cita untuk mengabdi pada nusa dan bangsa.

DASAR inilah yang melahirkan Panitia Senintara Pembebasan Irian barat Artis Film dan Militer di bawah pengawasan Mayor Marsudi, yang telah menghasilkan dua usaha amal, “Malam Bintang” dan sandiwara “Mutiara Dari Nusa Laut”. Mudah-mudahan kerjasama kaum seniman dan kaum militer ini dapat berjalan terus, sehingga disampaing tercapainya maksud untuk memberi sumbangan material kepada dana irian Barat, selalu nampak kegiatan-kegiatan diantara kaum seniman sendiri dan masyarakat mendapat hidangan-hidangan rohaniah yang sehat dan membuat mereka lebih art-minded. Dan pengaruh timbal balik antara kegiatankaum seniman dan art-mindedness dari masyarakat akan nampak pada hidup seni.

Baru-baru ini, sandiwara 4 babak “Mutiara Dari Nusa Laut” karangan Usmar Ismail dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta dibawah pimpinan pengarang juga.

Sandiwara ini ditulis Usmar Ismail pada tahun 1943, ketika dia sebagai pengarang relatif masih dapat dikatakan muda. Kita katakan relatif karena dalam lapangan kesenian keremajaan umur tidak selalu berarti keremajaan karya. Tetapi dalam hal ini keremajaan umur Usmar Ismail berjalan sejajar dengan keremajaan ciptaannya. Antara tahun 1943 dan permulaan 1958 telah berlalu kurang lebih 15 tahun. Tetapi ada juga persamaan motif tahun 1943 dengan 1958 untuk mementaskan sandiwara seperti “Mutiara Dari Nusa Laut”. Pada tahun 1943 pengarang sudah cukup dewasa untuk menginsyafi bahwa dia harus berbuat sesuatu untuk mengorbankan semangat berjuang diantara bangsa Indonesia yang pada waktu itu bertekuk lutut di bawah facisme Jepang. Jalan dan isi cerita itu sendiri adalah pemberontak terhadap Belanda, tujuan adalah jelas untuk mengobarkan semangat berjuang, tetapi sensor Jepang tidak melihat kamuflase ini.

Lima belas tahun kemudian, tahun 1958, sesudah Indonesia merdeka, pengobaran semangat itu masih tetap perlu melihat keadaan malahan lebih perlu lagi, seakan-akan kita mengalami kemunduran.

Sekarang “Mutiara Dari Nusa Laut” lebih langsung ditujukan pada sasarannya tanpa kamuflase. Maka mungkin adalah lebih tepat untuk mengganti namanya jika penulisan kembali  dilakukan juga, nama yang lebih tepat dan lengkap menggambarkan watak Ata yang lebih mirip pada seekor singa daripada mutiara yang lebih mengingatkan kita pada suatu barang yang indah dan halus.

Jika ditanya penonton yang telah melihat pertunjukan “Mutiara Dari Nusa Laut” baru-baru ini, maka 99% dari mereka adalah sangat puas dan mengagumi permainan dan sutradaranya. Dari sudut itu maka Usmar Ismail dan danpemain-pemain serta penyelenggaranya lainnya adalah berhasil, terlebih kalau diingat bahwa waktu mereka melatih adalah hanya satu bulan. Usmar ismail, Surjo Sumanto, dan pemain-pemain profesional lainnya yang turut menyumbangkan tenaganya untuk sandiwara ini sudah cukup makan asam garam dalam lapangan ini untuk mengetahui bahwa latihan satu bulan untuk sandiwara adalah baru merupakan semacam “warming-up”. Kalau kita boleh memakai istilah olahraga. Maka kita angkat topi juga pada Usmar Ismail cs, bahwa dalamw aktu yang begitu singkat tercapai juga hasil yang sangat memuaskan.

***

Sebagai penonton seharusnya di sinilah kita berhenti, pulang ke rumah dengan perasaan puas dan kesan yang baik. Berbahagialah penonton yang dapat berbuat demikian. Kemalangan seseorang kritikus ialah bahwa dia tidak mudah mendapat kepuasan dan sering tidak dapat menikmati sesuatu yang bagi umum merupakan makanan lezat. Pernah seorang pengarang dengan rada kesal berkata bahwa “Juga di surga, seorang kritikus tidak akan merasa puas dan senang”. Seorang pengarang lain mengatakan bahwa “Seorang wanita cantik akan juga jelek jika badannya dibedah dan isinya dipetontonkan”.

Tetapi sebaliknya, rata-rata pengarang, mengakui juga secara terang-terangan atau dalam hati, bahwa kritik yang sehata adalah conditiosine qua non bagi perkembangan seni. Dan jika kita menilai pertunjukan “Mutiara Dari Nusa Laut” dengan ukuran-ukuran kritik seni, tidaklah maksud kita untuk menghilangkan ilusi dari publik.

Sebagai cerita sandiwara “Mutirara dari Nusa Laut” mempunyai cukup syarat untuk pertunjukan yang baik, dilihat dari sudut tema, plot dan bangunan babak-babaknya. Dan dalam penyelenggaraannya usmar ismail memang berhasil mempergunakannya, sehingga dari mula sampai akhir ketegangan dapat dipertahankan. Kekurangan-kekurandangan dan kekosongan-kekosongan kecil yang memang ada tak tampak pada penonton biasa. Dengan ini kita mau katakan bahwa cerita sandiwara ini masih dapat diperbaiki sehingga lebih padat dan berisi.

Untuk itu terutama perlu diperhatikan penggambaran watak,s ehingga tiap watak tidak meragukan. Disamping itu,  penggambaran watak ini memerlukan pengetahuan psikologi yang tajam. Dialog=dialog sebagai unsur yang sangat penting dalam sandiwara harus mendapat perhatian khusus supaya tiap-tiap perkataan berisi (geladea). Dengan cerita yang kuat, penggambaran watak yang jelas, dialog-dialog yang berisi, sutradara dan pemain sudah banyak tertolong.

Untuk kembali pada dialog, dalam hal “Mutiara Dari Nusa Laut” rasanya adalah lebih baik untuk konsekuen berpegang pada pemakaian istilah-istilah atau kata-kata dan jangan umpamanya bertukar-tukar dipakai “Beta”, dan “Aku”. Dan jika pemakaian Beta dimaksudkna untuk menyesuaikannya dengan lingkungan dan suasana Ambon, sebagaimana dilakukan dengan dekor dan pakaian, baiklah perkataan itu dipakai konsekuen dan cara melafalkannya juga disesuaikan dengan cara suku Ambon, pendek-pendek dengan nada militer.

Sebagai tokoh pusat, (centrale figuur) permainan Dhalia yang memegang peranan Ata, dari mula hingga sampai akhir sungguh-sungguh meyakinkan. Dia menguasai seluruh permainan dan adalah terutama berkat permainannya yang mengasyikkan dan membuat perhatian penonton dipusatkan padanya, sehingga detail-detail yang kurang sempurna tak tampak pada publik. Dengan permainan dalam sandiwara ini Dhalia membuktikan lagi bahwa dialah pemain drama wanita yang tak ada tandingannya sekarang di Indonesia.

***

Ata menggambarkan seorang gadis yang keras hati dan tidak mengenal kompromi. Sebagai pahlawan wanita dia mengingatkan kita pada Jeanne D’arc. Sesudah Ata, seperti Jeanne D’arc juga pada taraf terkahir dari perjuangannya mengalami kegagalan. Ata dituduh sebagai seorang “Suanggi” (witch). Bagi kaum lelaki yang menganggap kepahlawanan sebagai monopoli laki-laki, inilah senjata yang paling ampuh dan excuse yang dapat dijual pada umum dengan laris.

Juga Rendra Karno sepanjang cerita itu memberikan dia kemungkinan untuk mengembangkan bakatnya, menunjukkan permainan yang baik sebagai pahlawan Buang. Dalam penggambaran tokoh Buang terasa bagi kita bahwa seakan-akan pada pengarang ada nampak keragu-raguan apakah patriotisme Buang yang harus mendapat tempat utama ataukah cinta nya pada Ata. Keragu-raguan ini nampak dari dialog-dialog antara dia dan Ata. Apakah yang terutama membuat Buang berjuang mati-matian ? Cinta pada tanah air?      Cinta pada Ata? Cinta pada dua-duanya memang bisa saja jalan berbareng, tetapi supaya tokoh Buang dapat diterima sebagai pahlawan sejati, dia terutama harus digambarkan sebagai patriot yang kebetulan mempunyai hubungan cinta dengan Ata. Sesuatu hal yang biasa terjadi dengan seorang pahlawan.

Penggambaran watak Ajal pahlawan muda, yang diperankan dengan baik oleh Soekarno M. Noor. Adalah lebih jelas. Memang Soekarno M. Noor cocok untuk peranan ini.

Tokoh Samallo yang diperankan oleh Boes Boestami terdapat dalam segala zaman. Tokoh seperti Samallo digambarkan juga oleh Shekespeare dengan Brutus dalam “Julius Caesar” dimana Caesar juga berkata: “Engkau Juga, Brutus?” Dalam kehidupan sehari-hari kita juga bisa kaget dan kecewa, jika dengan tidak disangka-sangka seorang kawan mengkhianati kepada kita. Tetapi seperti Brutus juga, Samallo bukanlah pengkhianat yang berwatak jahat, tetapi justru karena  terdorong oleh sesuatu motif yang baik. Boes Boestami yang biasa memainkan peranan lucu, ternyata dapat juga dengan memuaskan  memegang peranan yang serius. Cuma karena dia sudah terlalu sering dilihat publik sebagai pelawak, melihat dia saja orang sudah tertawa, suatu handicap bagi Boes Boestami untuk peranan  serius yang membutuhkan waktu dan kesempatan untuk mengatasinya.

Tokoh Triago (Tiahuhu?) yang diperankan oleh Awaluddin membayangkan berbagai watak pada kita: Tokoh yang ragu=ragu seperti Hamlet, Tokoh Diponegoro yang mula-mula menyala, tetapi pada taraf terakhir dapat dibujuk untuk kompromi dan akhirnya terjebak dalam perangkap musuh. Triago dapat juga disebut tipe moderat yang terdapat diantara pemimpin-pemimpin kita sekarang atau tipe pemimpin pada siapa kepentingan sendiri – cintanya pada anaknya, Ata – melebihi cintanya pada nusa dan bangsa.

Dalam memainkan peranan Raja Triago Awaluddin dan bersama dia sutradara sendiri melupakan beberapa detail yang sebenarnya muda dihindarkan. Ketika Samallo  datang terhuyung-huyung luka parah, Triago masih memperhatikan dia. Tetapi pada saat dia menghembuskan nafas penghabisan dan sesudahnya, Triago sama sekali tidak memperhatikannya. Psikologis sikap demikian terlebih-lebih karena yang mati adalah pahlawan, tidak bisa terjadi. Kalau tak salah, pada ketika itu juga Triago membicarakan sesuatu yang penting dengan Busang. Pada scene ini juga terdapat kekurangan yakni bahwa kedua-duanya berada di luar berkat spotlight sehingga mimik dan ekspresi, unsur yang sangat penting dalam sandiwara tidak nampak sekali.

Chitra Dewi sebagai Mala, yang sudah beberapa kali kita persaksikan main dengan memuaskan, baik dalam sandiwara maupun di layar putih, ternyata tidak mempunyai suara yang cukup kuat untuk suatu gedung sandiwara. Dan jika kita mengingat bahwa ukuran Gedung Kesenian masih termasuk kecil rasanya adalah susah bagi Chitra Dewi untuk menjadi pemain sandiwara.

Suara yang setengah-setengah kedengaran sangat mengganggu pada publik dan sering menimbulkan kejengkelan.

Inilah beberapa kekurangan yang sekalipun merupakan detail, tapi juga pentng. Sebagai penutup dapat saya katakan bahwa dekor-dekor sederhana, ciptaan Basuki Resobowo, adalah memuaskan. (***)

Sumber: Majalah Aneka, Nomor 35 tahun VIII, 10 Pebruari 1958.  

Tinggalkan komentar