(Suara Karya, 1972) Ulasan Fauzi SA tentang Naskah “Petang di Taman, Drama Sebabak Karya Iwan Simatupang

Petang di Taman, Drama Sebabak Karya Iwan Simatupang

Oleh: Fauzi SA

 

Beberapa tahun yang lalu, sebelum meninggal, Iwan pernah menyatakan kekecewaannya terhadap beberapa penulis indonesia yang pernah berkunjung ke luar negeri. Karena , menurut Iwan, terlampau terpukau oleh problem-problem dari negara yang dikunjunginya sehingga seakan-akan tercerabut dari tanah airnya sendiri, atau menurut istilah yang digunakan Iwan waktu itu, menjadi snob. Dengan alasan yang sama, beliau mengatakan bahwa drama PETANG DI TAMAN  adalah salah satu contoh karya Snob (waktu itu belum diterbitkan dalam bentuk buku, masih dalam majalah SASTRA). Dan karena itu ia berkata bahwa dia tidak akan mempublisir naskah itu lebih lanjut. Tapi beberapa saat setelah itu, saya saksikan di toko buku, drama dengan judul di atas sudah diterbitkan oleh CV Bakti Pustaka dalam bentuk buku kecil setebal 28 halaman dengan sampul kertas tipis berwarna hijau.

Begitulah pendapat pengarangnya sendiri tentang drama ini yang kalau diperhatikan dan dirasa-rasa memang agak asing bagi kita. Bila dibaca tanpa memperhatikan terlebih dahulu nama pengarang, maka kesan pertama yang tampil adalah bahwa drama ini merupakan karya terjemahan atau paling sedikit saduran dan bukan karya asli. Karena baik simbol-simbolnya maupun problema yang dikemukakan asing bagi kita. Fungsi taman bagi masyarakat kita bukanlah seperti yang digambarkan dalam drama itu: “Taman ini diadakan Kotapraja untuk dapat sedikitnya menghibur warga kota yang letih dan risau”. Kita tidak akan pergi ke taman jika letih dan risau, barangkali kita akan pergi ke rumah sahabat ataupun tetangga untuk dapat berbincang. Begitu pula problema yang diucapkan lewat drama ini: rasa keterasingan manusia yang begitu menekan karena sulitnya mengadakan komunikasi individual. Dan barangkali sulit untuk mendapatkan tokoh dalam masyarakat kita yang mengucapkan dan berkesimpulan: “kebersamaan kita seperti yang Bapak gambarkan itu lebih parah lagi dari kesendirian kita masing-masing?” sebagaimana yang diucapkan oleh salah seorang tokoh dalam drama itu.

Meski begitu,  asing ataupun tidak sejauh karya itu berkomunikasi dengan kita sejauh ia merangsang kita untuk berpikir dan merasa, maka ia berhak untuk dibicarakan. Setidak-tidaknya ia merupakan manifestasi dunia yang dihayati Iwan dan dengan mengkomunikasikan diri kita dengan karya tersebut, berarti kita telah memperkaya pengalaman batin. Dan bagi saya, pendapat seorang pengarang tentang karyanya itu tidak usah terlalu banyak diperhatikan, karena karya itu sendiri bisa lebih keras bicara dari pada mulut pengarangnya sendiri.

Sulit untuk mencari alur dalam pengertiannya yang konvensional pada drama ini. Demikian pula dengan garis perkembangan wataknya. Drama ini lebih merupakan perwujudan perlawanan manusia (tokoh-tokohnya) terhadap situasi yang mengurungnya. Manusia-manusia iseng yang reah suatu sore ketemu di taman berusaha keras untuk berkomunikasi dengan berbagai macam cara yang diujudkan baik dalam adegan-adegan komis  yang mengarah ke farce maupun adegan-adegan yang mengunggah keharuan kita. Jalannya cukup lancar kalaupun di sana-sini terasa adanya kesendatan yang mengganggu kenikmatan kita mengikutinya.

Problemnya adalah problem manusia modern yang terjerumus ke dalam gua yang bernama kesunyian. Di satu pihak keadaan ini mendorongnya untuk berkomunikasil Tapi di pihak lain dalam keadaan terisolir proses kehidupan berjalan terus, pengalaman manusia berlangsung tanpa henti. Pengalaman mengendap melahirkan pengertian-pengertian dan kesimpulan-kesimpulan yang lazim disebut sebagai prinsip hidup yang berpengaruh besar dalam kehidupannya kemudian. Masing-masing individu mempunyai prinsip-prinsip hidup yang dibentuk secara terpisah, bergumul dan menginterpretasikan realitas yang dihadapinya dalam keadaan terisolir sehingga simbol-simbol menjadi sangat subyektif sifatnya dan setiap masalah yang timbul dalam komunikasi dkembalikan kepada prinsip masing-masing yang jauh berbeda, dan sekaligus membuktikan ketidaksiapan untuk menciptakan moment-moment kebersamaan yang perlu dalam komunikasi  individual. Karena itu usaha untuk berkomunikasi menjadi sangat sulit sekali.

Dalam situasi itulah Iwan menempatkan tokoh-tokohnya. Sang tokoh berusaha keras untuk berkomunikasi satu sama lain. Tapi di lain pihak mereka tidak bisa melepaskan diri dari kenangan serta prinsip-prinsip masing-masing yang mencegah mereka untuk bisa terlibat dan lebur dalam situasi bersama untuk berkomunikasi. Masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Sehingga setiap usaha untuk saling berhubungan menyebabkan terjadinya perbenturan-perbenturan antara dunia sang tokoh yang diwujudkan dalam bentuk adegan-adegan yang lucu. Hendak kembali kepada norma-noram dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antar manusia, sudah tidak bisa lagi, karena norma-norma itu sudah tidak  terhayati lagi. Satu-satunya jalan pemecahannya adalah kesediaan untuk mengerti, masuk ke dalam dunia orang lain. Dan inipun akhirnya tercapai juga, tapi dunia orang lainpun sama unyi dan gelapnya dengan dunia yang dihayati diri sendiri, dunia yang hendak ditinggalkan dengan jalan berkomunikasi/.   Sehngga upaya berkomunikasi merupakan suatu tindakan yang absurd, tidak menolong sama sekali: Kebersamaan kita seperti yang Bapak gambarkan itu lebih parah lagi, dari kesunyan kita masing-masing.

Ada beberapa bagian dari drama ini yang terasa agak dipaksakan. Misalnya  adegan di mana orangtua menangis meraung-raung sambil memanggil-manggil nama Minah. Peranan-peranan lain membayangkan Minah sebagai istri orangtua tersebut akan tetapi pada kenyataanya Minah adalah nama kucing si kakek yang sudah seminggu belum pulang.  Hal ini terasa terlalu sering digunakan untuk memancing efek komis. Sehingga sudah kehilangan sebagian dari kelucuannya. Di samping itu, kadang-kadangpun tampak iwan kurang ketat mengontrol keinginannya untuk berkelakar sehingga dalam adegan yang khidmat dan haru ada dialog yang agak komis dan terasa agak merusak efek haru yang dibangunnya dalam adegan yang bersangkutan.

Di atas semua itu, saya kira, PETANG DI TAMAN adalah salah satu karya drama Iwan yang terbaik dan menambah perbendaharaan naskah drama kita yang sampai sat ini masih sangat minim. (Jakarta , 8 September 1972).

Sumber: Suara Karya Minggu, 24 September 1972

fauzi-sa

Tinggalkan komentar