(Suara Karya, 1983) Teater Generasi Maju, Purwokerto, Sempat Ikut Film Kereta Api Terakhir

Teater Generasi Maju, Sempat Ikut Film Kereta Api Terakhir

Oleh:  Damayantie S.

Teater Gema Purwokerto

Anggota Teater Gema (Generasi Maju) desa Karangwelas, Purwokerto saat ulang tahun pertama kelompok tersebut

GENERASI MAJU, demikian kepanjangan dari GEMA. Sebuah nama kelompok teater yang berdomisili di desa yang berstatus kelurahan. Dalam ruang lingkup yang sempit di wilayah Karanglewas Lor Kecamatan Purwokerto Barat, kabupaten Banyumas, Jawa Ttengah, Generasi   mudanya yang memiliki bakat dan minat pada dunia seni menghendaki kemajuan maka berdirilah teater tersebut pada 20 Pebruari 1982 lalu. Di Kala itu kelurahan ini masih termasuk kecamatan karanglewas. Kotatif Purwokerto  baru diresmikan 15 Januari 1983 lalu.

Kehidupan teater di desa tak sesubur dengan kehidupan teater di kota karena beberapa faktor yang mempengaruhinya.  Terutama faktor sarana yang fisik maupun non fisik, faktor lingkungan dan fasilitas yang jelas berbeda. Diperbandingkan dengan beberapa teater di Kota Purwokerto yang namanya sudah beken seperti “Teater Gumbala”, Teater Tugu, atau Teater 77, prestasi Teater Gema jelas berada di bawahnya. Apalagi teater di Purwokerto itu ada yang memiliki nama yang kondang seperti Bambang Set, Erani jaya dan lainnya.

Dalam Teater Gema tak dijumpai nama-nama yang setingkat dengan yang dimiliki beberapa teater di Purwokerto. Teater Gema berdiri karena kesepakatan para remaja dan pemuda  yang mempunyai minat dan bakat seni, ucap ketua teater ini, Pujiono. Hanya itu modalnya ditambah dukungan dari seorang pemuda, Suseno yang karyawan kecamatan karanglewas, sebagai pengusahanya sekarang.

Beranjak dari sepakat itu, Teater Gema sekarang memiliki 20 anggota, 15 putra dan 5 orang putri, yang terdiri dari para pelajar, mahasiswa, karyawan, guru TK, dan sebagainya. Yang penting, ujar Bambang Priyadi mahasiswa Unsoed yang sebagai sekretaris, kami memiliki wadah untuk menampung kreativitas.

Dalam wadah Teater Gema, secara bergotong royong dan bersatu kami berusaha memupuk bakat seni. Sehingga waktu yang terluang bagi kami dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang positif.

Problema

Sebagai Teater yang hidup di tengah masyarakat desa kendati letak kelurahan ini di pinggiran kota, begitu lahir GEMA harus menyesuaikan dengan keadaan. Ini salah satu problema yang harus diatasi disamping masalah lainnya seperti dana, problema organisasi, tempat latihan dan sebagainya. Oleh karena itu setiap pementasan Gema selalu dilihat medianya yang dihadapi.

Maka dalam suatu kesempatan pada pementasan yang pertama, Gema mengetengahkan cerita dalam bahasa Jawa dialek Banyumasan. Dengan percobaan itu, sambutan masyarakat cukup menggembirakan. Walaupun pementasan dilakukan di tempat penduduk yang sedang mempunyai khajat. “Tak ada rotan, akarpun jadilah.”

Dan yang lebih menggembirakan lagi bagi teater desa ini, kantor Departemen penerangan kabupaten banyumas memberikan kesempatan untuk ikut dalam shooting “KAT” (Kereta Api Terakhir)  produksi PPFN  yang mengambil lokasi di Purwokerto dan sekitarnya. “Banyak yang kami peroleh untuk tambahan pengalaman sebagai figuran,”  kata Pujiyono lagi.

Dari pengalaman yang sedikit, Teater Gema dapat mengatasi beberapa kesulitan sedikit demi sedikit. Untuk latihannya masih menggunakan “belajar sendiri” dengan bimbingan Suseno. Dan pada peringatan 17 Agustus 1982 lalu, memperoleh pula kesempatan pementasan di tingkat kecamatan karenglewas dan di kandang sendiri. Dalam pementasan ini, dipilih bentuk sosio-drama dalam bahasa Banyumasan pula.

“Bukannya kami tidak mampu mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, tetapi GEMA harus menyesuaikan diri dengan masyarakat” kata Pujiyono yang pelajar STM kelas II jurusan mesin itu.

Sebagai remaja dan pemuda, anggota GEMA juga ingin menyampaikan pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat.

Dengan sosio-drama itu, diharapkand apat diterima masyarakat karena pesan-pesan itu disisipkan dalam lakon yang dipentaskan. Unsur humor tak diabaikan dalam pementasan itu, karena penonton yang senang dan rileks akan mudah menerima pesan-pesan tanpa dirasakannya.

Masalah keuangan dengan sedikit-sedikit sudah dapat terkumpulkan uang kas sebesar Rp. 30.000 dan pemeliharaan ikan di kolam hasil pinjaman. Uang dan usaha itu diperoleh dari menyisihkan sebagaian honorarium yang diterima dari film KAT dan iuran anggota.

Setiap anggota juga diwajibkan membawa koran bekas pada waktu datang di tempat latihan setiap hari Minggu sore. Setelah koran bekas terkumpul, dijual  uangnya untuk penambah kas.

Kegiatan Lain

Sebagai wadah kegiatan kesenian para remaja dan pemuda, Gema tidak hanya berlatih teater saja. Mempunyai group pop-song dan penyaluran baca puisi, tari dan sebagainya, juga ditampung dalam wadah ini. .

Untuk sementara ini belum ada rencana pementasan yang “mandiri”.

Masih terpancang pada biaya. Tetapi kepada penulis, anggota teater Gema bertekad untuk “membonceng” seperti yang pernah dilakukan.

Selama itu kami berusaha meningkatkan mutu pementasan yang lebih baik lagi,

Demikian selintas tentang teater Gema. Kendati namanya sama-sama kelompok teater, tetapi Teater Gema memiliki kelainan. Dan dengan pembinaan dari yang berwenang dalam hal ini, teater semacam gema dapat dijadikan media penyuluhan dan penerangan yang cepat dan praktis. (***)

Sumber: Suara Karya Minggu, Jakarta, 13 Maret 1983.

Tinggalkan komentar