(Aneka, 1953) Bercakap-cakap dengan Bintang: Astaman

Bercakap-cakap dengan Bintang:

Astaman

Oleh: H.A.

 

astaman

Astaman

DIANTARA kawan-kawannya artis cukup dipanggilnya “Pak Taman” atau “Bang Taman”. Sedang nama lengkapnya Astaman Tirtosari. Dilahirkan pada tahun 1903 di desa larangan, kabupaten Sidoardjo, Surabaya. Di saat itu, rombongan tontonan Jepangan milik almarhum ayah Astaman kebetulan sedang bermai di Sidoardjo. Para penonton yang sudah mulai mengagumi “golden voice” dari seorang pemain akrobat wanita dalam rombongan Jepangan, pada saat itu merasa kecewa, disebabkan bunga pujaannya tak muncul di atas tonil. Tentu saja. Sebab orangnya sedang berbaringan di tempat tidur, baru melahirkan bayi laki-laki, anak ketiga, yaitu yang kemudian diberi nama “ASTAMAN” itu.

Ayahnya konon berasal dari Pulau Timor, berdarah campuran dengan suku Madura. Sedang ibunya kelahiran jawa Timur, mempunyai darah Madura pula.

Astaman ternyata anak yang paling bungsu, dan yang tetap hidup hingga kini. Kedua saudaranya yang tua lebih dulu meninggal, yang kemudian disusul pula oleh  ayahnya. Almarhum ayahnya sebenarnya bercita=cita supaya anaknya itu bisa meninggalkan dunia anak wayang, maka karenanya juga lantas diserahkan kepada bibinya untuk dimasukkan sekolah. Astaman berhasil masuk sekolah angka II, sebab kebetulan bisa mempunyai perantara seorang keluarga priyayi.

Ayah Astaman mempunyai saudara laki-laki yang kemudian mempunyai anak Md. Supingi dan Supilin. Yang belakangan ini kemduain dipungut anak oleh taoke tonil terkenal ialah Evers, Indo-Belanda. Maka ayah Netty Herawati itupun kemudian bernama Piet Evers. Astaman dan Supilin sejak kecil mula berkumpul, juga setelah emreka masuk ke dalam dunia tonil. Astaman tak dapat melanjutkan sekolahnya, dan pun ayahnya tak dapat mempertahankan cita=citanya menyingkirkan anaknya dari kalangan panggung. Sebab, pada usia 10 tahun Astaman terpaksa hidup di atas panggung Tonil. Itu waktu ayahnya memiliki rombongan tonil bernama “De Roos van Java”, tapi setelah bermain di kota Surabaya maka lebih dikenal dengan nama “Seblung” ialah karena di waktu itu ada seorang badut dari rombongan Jepangan lain yang masuk dan dalam tiap pertunjukan badut tadi selalu membikin gempar penontonnya dengan atraksi perut digebuk  lantas berbunyi  “Seblung”. Tontonannya waktu itu sudah meningkat menjadi stambul dengan menghidangkan cerita cerita. Astaman sendiri amsih menjadi kacung panggung, membantu segala pekerjaan. Dan waktu itu memang ada cara family atau “familie-sisteem”dalam kalangan rombongan tonil. Begitulah dalam rombongan ayah Astaman, hampir semuanya yang bekerja     maupun yang bermain ialah pamili sendiri. Pun kemudian pemuda Astaman dan Supilin juga mulai main, mula-mula Awstaman disuruhnya menyentil gitar, sedang Supilin yang lebih dulu beraksi di atas panggung.. Kian tahun bertambah banyak pengalaman-pengalaman Astaman di atas panggung, sehingga bisa menjadi pemeran utamanya. Dengan istilah kuno “menjadi Anak Mudanya” . Sesudah ayahnya pulang ke Rahmatullah maka Astaman bermain dalam berbagai rombongan tonil keliling, kadang-kadang bisa campur dengan Piet Evers, kadang-kadang tidak. Berkali-kali Astaman oleh ayahnya dikawinkan, tapi  gagal semuanya. Baru ketika memilih sendiri, hingga kini masih tetap dalam kebahagiaan hidup berumah tangga dengan Bu Munati, berasal dari  Kediri. Karier sebagai anak wayang tetap dilanjutkan, meskipun ada waktunya Astaman pernah mencoba untuk menjadi motoris pada trem listrik di Surabaya atau menjadi Opas kantor. Rupanya memang sudah tulisan takdir bahwa saya hanya tetap menjadi anak wayang seumur hidupku,” demikian pikirnya.

Hingga saat ini Astaman memang sudah 40 tahun berada di dalam dunia kesenian profesional. Suka duka hidup persandiwaraansudah dirasakannya dan dialaminya. Pernah gilang-gemilang bintangnya menjadi “Anak muda” di atas panggung tonil, opera, sandiwara. {ernah menjadi pujaan kaum wanita   pun pernah menjadi “gila” terhadap wanita. Dan demikian, itulah suka-duka di belakang layarnya anak wayang, pada umumnya.

DI TAHUN 1936 ketika rombongan sandiwara Dardanella berada di luar negeri dan membikin film “Dr Samsi” di Kalkuta, maka Pak Taman lah yang diserahi pegang peranan penting selaku Dr Samsi. Itulah baginya buat pertama-tama kalinya menginjak di dalam dunia perfilm-an. Kemudian setelah kembali di Indonesia, untuk kedua kalinya diserahi peranan penting dalam produksi film. Ialah ketika Java Industrial Film menyiapkan produksi “KARTINAH”. Astaman bermain dengan Ratna Asmara dan tante Han. Kemudian dalam “NUSA PENIDA”, “Djula-Djuli BIntang Tiga” juga dengan Ratna Asmara. Seterusnya sejak di jaman Jepang Pak Taman pegang cuma   pelaku-pelaku biasa saja sebagai Bapak dalam cerita. Dan ternyata juga bukan cuma di atas layar perak Pak Astaman menjadi Bapak, melainkan pun di belakang layar. Pak Astaman menjadi Bapak bagi artisen, juga bagi taoke-taoke film yang diseganinya. Sebab pribadi Bapak Astaman cukup kuat untuk menjadi seorang Bapak. Di dalam rumahnyapun kemudian menjadi Bapak pula dari dua anak laki-lakinya, Lily Sudjio dan Sumadi. Kalau dulu ayah Astaman tak senang melihat anaknya menjadi anak wayang, maka sekarang sebaliknya Pak Astaman lebih merasa berbahagia kalau anak-anaknya bisa menjadi artis. Terkabullah, Sudjio buat pertamakalinya muncul dalam film “Dr. Samsi” sebagai anak kecil yang sudah berbicara. Kini pun banyak kali turut main film.

Tapi ternyata, bahwa bakat antara kedua junior Astaman ini  berlainan. Yang Sudjio kini aktif bekerja sebagai montage-man dalam film studio Persari, sedang Sumadi menjadi pemain musik pada Alri. Mereka masih tinggal serumah dengan kedua orangtuanya, di sebuah rumah Persari  di Polonia, juga bersama dengan Ibu Pak Taman dengan ayah tirinya, dulu juga terkenal sebagai pemain gitar yang ulung..

Pak Astaman mengaku sendri, bahwa dia adalah salah seorang dari apa yang disebut-sebut anak wayang. Dan meskipun kini aktif bekerja sebagai artis tetap pada studio film PERSARI, kalau toh ada modal dan mampu, seandai disuruh pilih antara menjadi taoke, atau produser film, maka Pak Astaman dengan spontan akan  memilih kembali ke…. Panggung! (***)

Sumber: Majalah Aneka, Nomor 25 tahun IV, 1 November 1953

Tinggalkan komentar