(Minggu Pagi, 1962) Dari Kehidupan Seniman: Mansursjah

Dari Kehidupan Seniman:
Mansursjah

  • Si Anak Medan, Pemain Drama dan Film yang kreatif
  • Pengungkapnya digali dari rakyat, dari kehidupan
-Mansjursjah

Mansur Sjah dalam film “Mak Tjomblang”

SEMENTARA beberapa orang masih mengadakan pengambilan di Bali, pagi-pagi berangkatlah salah seorang pemainnya dari lapangan terbang menuju Jogja. Orang itu adalah Mansursjah. Di Jogja dia mengadakan peninjauan ke Borobudur, Prambanan (dia sebagai unit) – obyek-obyek yang akan diambil untuk melengkapi film “Holiday in Bali” sebuah kerjasama dengan perusahaan film Philipina.

Sebagai seorang pemain, Mansursjah adalah salah seorang pemain yang belakangan ini nampak kian menanjak disamping pietradjaja burnama, Ismed M. Noor.

Dia berasal dari medan, kota yang paling banyak mempunyai organisasi drama. Kalau kita berhadapan dan bercakap-cakap dengannya sebentar saja, kita merasa bahwa kita berhadapan dengan seorang pemain yang mempunyai hari depan baik. Pandangan dan pengertiannya tentang drama serta film bolehlah dikatakan luas. Hal ini adalah penting sekali bagi seorang yang ingin menjadi seorang pemain yang baik. Sebab hal-hal demikian adalah bekal yang utama. Seperti juga cangkul bagi seorang petani. Seperti juga pensil bagi seorang pelukis.

Permainannya dalam drama “Tumbang” dan “Sabotase” selama ia masih di Medan, membuat dia tidak puas. Dia mulai memimpikan bermain dengan lebih baik. Dia mulai ingin bergerak luas, ingin berada di pusatnya – Jakarta!

Dan pada tahun 1955 ketika di jakarta diadakan jambore (dia seorang pandu ketika itu) diapun merencanakan akan menetap di Jakarta, setibanya di ibukota itu. Orangtuanya yang ketika tidak memperbolehkan ia belajar di luar kota Medan, terpaksa memperbolehkan dia ikut Jambore itu.

Kehidupan drama di Ibukota memberi rangsang yang semakin kuat kepadanya. Saat inilah dia memasuki ATNI. Beruntung dia, bahwa dia mendapat bimbingan dari orang-orang yang benar-benar mampu dan kuat dalam hal ini. Asrul Sani dan Usmar Ismail. Sejak inilah berturut-turut dia muncul dalam “Hutan Membatu”, Mak Tjomblang, Montserrat, Malam Djahanam, Rain Maker, “Pakaian dan Kepalsuan”.

Orang-orang film mulai mengarahkan pandanga kepadannya. Mulai mengincar-incar dia. Anom Picture pun mulai mengambil dia untuk “Gembira Ria”.

Kemudian main dalam “Pedjuang”, “Mak Tjomblang”, “Amor dan Humor”, Pagar Kawat Berduri”, “Toha Pahlawan Bandung”.

Untuk peran-peran yang dipegangnya itu, dia tidak main asal saja. Tapi mengadakan dulu pendalaman. Benar-benar ingin dihayatinyaperan yang dia bawakan.

BERBICARA tentang permainannya dalam film, dia mengatakan bahwa dalam film lebih banyak dibantu oleh camera. Hampir segala penjiwaan kamera, mempunyai peranan yang sangat penting  dalam hal ini. Berbeda dengan stage, tanggung jawab sepenuhnya setelah dari sutradara adalah benar-benar pemain itu sendiri. Sutradara tak ada lagi. Sutradara sudah jadi penonton.

Dia sangat menyesalkan bahwa pemain-pemain film di Indonesia kurang dapat menghargai adanya sikap tenggang menenggang. Kebanyakan mereka ini manja. Terlalu mementingkan diri sendiri. Banyak yang tidak disiplin. Mereka seenaknya saja datang terlambat ketika akan diadakan pengambilan. Akibatnya bahwa kerugian tidak saja pada produser, tapi pada juga teman-teman bermain. Memang bahwa kebanyakan dari mereka dalam permainan patuh pada sutradara.

Hal itu disebabkan, menurut dia, karena di Indonesia untuk menjadi pemain film terlalu gampang. Bisa didapat dengan mudah. Lain halnya di luar negeri. Misalnya di Philipina. Di sana untuk menjadi seorang pemain film sangat sukar.  Benar-benar diadakan penyaringan. Sedang jika diantara mereka ada yang datang terlambat dalam saat pengambilan, maka mereka ini harus membayar denda atau dipotongkan dari honorarium. Hal ini sudah dimengerti oleh semua mereka. Dan dimasukkan dalam perjanjian.

Tentang pemain-pemain kita, menurut Mansursjah tidak kalah dengan dengan pemain-pemain dari luar negeri.

MANSURSJAH orangnya tidak pendek benar, dan rada gendut. Pandangannya tentang seni luas. Dia dapat menghargai kesenian rakyat. Dia sendiri mencari daya pengungkap dari peran-peran yang dia bawakan dari kehidupan di sekitarnya. Setiap kali dia menghadapi cerita baru, dia merasa bahwa dia sedang memulai sesuatu yang belum dia kenal, dan karena itu dia berusaha mengenali naskah itu dari A sampai Z-nya, dalam keseluruhannya. Naskah ini baginya menjadi suatu masalah baru dalam sebuah kelompok kehidupan orang-orang dan tokoh-tokohnya.

Sumber: Majalah Minggu Pagi, Nomor 37 Tahun XV, 9 Desember 1962.

Tinggalkan komentar