(Indonesia Raya, 1972) SOS Teater Modern Indonesia

SOS Teater Modern Indonesia

Oleh: Bajo Lubis

 

TEATER MODERN INDONESIA dimulai dari berdirinya  The Malay Opera “Dardanella” yang didirikan oleh A. Piedro, seorang berdarah Rusia  kelahiran Penang pada tahun 1926. Dari perbedaan komedi Stambul dengan “Dardanella” ini maka timbul dan tumbuhlah konsep drama dan teater modern di Indonesia; A. Piedro terus memimpin dam menyempurnakan; sampai saat meninggalnya tahun 1952. Disaat berkembang dan terkenalnya “Dardanella” di kalangan masyarakat Indonesia, tumbuh beberapa perhimpunan yang didirikan oleh bekas sripanggung dan tokoh “Dardanella”. Bolero, Orion yang didirikan oleh Miss Ribut dan “Tjahaja Timoer” oleh Andjar Asmara yang dikenal sebagai teman dekat dari A Piedro di tahun 1942. “Tjahaja Timoer” telah mendasarkan pada teks atau script, di bawah pimpinan sutradara. Pada tahun 1944, Usmar Ismail mendirikan Sandiwara Penggemar “Maya” di Jakarta. Sepanjang perjalanan komedi stambul, “Dardanella” dan perhimpunan-perhimpunan lainnya, teater masih merupakan hiburan, baik berkeliling maupun yang menetap, memberi tontonan yang sesuai dengan selera publik. Tetapi bukan berarti bahwa perhimpunan-perhimpunann teater yang bersifat lokal tidak punya arti. Perhimunan-perhimpunan ini sebenarnya lahir dari ketidakpuasan, hendak membebaskan diri dari nilai-nilai konvensional. Komedi Stambul dan “Dardanella” akhirnya mati sendiri oleh sifat yang terlalu meladeni hasrat  penonton dan diikuti dengan timbulnya perusahaan-perusahaan film.

SOS I

Di samping itu, perhimpunan-perhimpunan yang bersifat lokal tidak hanya mementingkan komersil, tetapi dapat mengikuti dan merasakan hari ini dan hari akan datang dan meleiti kebutuhan-kebutuhannya, kegagalan-kegagalannya dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kemudian dengan turut aktifnya Andjar Asmara dan Njoo Cheong Seng.

Kalau “Dardanella” di tahun tigapuluhan belum mendengarkan budaya Indonesia, Sandiwara Penggemar “Maya” yang didirikan oleh Usmar Ismail telah punya motto: Memajukan seni sandiwara pada khususnya, dengan berdasarkan kebangsaan dan KeTuhanan.  Sekalipun dalam masa pendudukan Jepang (menurut skripsi Boen S Oemarjati untuk mendapatkan sarjana pada tahun 1963) lapangan produksi film berkembang dengan luas, terutama pengaruh pengusaha-pengusaha Tionghoa, namun kegiatan sandiwara tetap banyak dan mendapatkan hak hidup yang cukup besar dan ini disebabkan oleh beberapa hal antaranya terutama adalah:

  1. Adanya Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) serta Pusat Sandiwara yang oleh pemerintah Jepang diberi hak hidup terutama sebagai alat propaganda, semacam impresario yang lalu dapat menimbulkan milieu dan kesempatan bagi Tonil berkeliling itu berkembang.
  2. Blokade yang diadakan oleh Pemerintah Jepang terhadap pengaruh-pengaruh asing lain dan kenyataan bahwa import film-film Jepang tidak bisa memenuhi kebutuhan hiburan mengakibatkan perlu diberikan ijin bagi himpunan-himpunan teater, teater penggemar, pertunjukan-pertunjukan rakyat, dan sebagainya untuk mengisi kebutuhan ini dengan kreasi mereka sendiri

Kedua hal ini membuat timbulnya dan berlangsungnya sejumlah himpunan sandiwara, diantaranya “Maya” dibawah pimpinan Usmar Ismail, dan “Tjahaja Timoer” di bawah pimpinan Andjar Asmara.Kegiatan ini berlangsung hingga tahun 1950; sesudah itu mengalami kemunduran. Kemunduran ini disebabkan oleh (menurut Armijn Pane dalam buku cetakan khusus majalah” Indonesia” tahun 1953 yang berjudul: Produksi film Cerita di Indonesia) karena tonil tidaklah bangun lagi sampai sekarang juga, orang-orang bekas bergerak dalam lapangan itu, dan peminat-peminatnya menyalahkan itu terutama kepada kembalinya film-film luar negeri beredar, malahan lebih banyak dari dahulu, sehingga penonton dapat sepuasnya memenuhi hasratnya yang selama ini tidak dapat dipenuhinya, apabila dengan karcis yang lebih murah dari karcis pertunjukan tonil.  Keadaan Tonil ini terutama dibawa oleh keadaan yang sama dengan waktu sesudah tahun 1935, yaitu tonil modern putus lagi integrasinya dengan masyarakat yang   sementara itu sudah tambah disintegrasi lagi , sehingga menimbulkan masyarakat yang terpecah-pecah menjadi golongan-golongan kecil , partai, perkumpulan, sampai-sampai pada egoisme individu yang sangat. Njoo Cheong Seng dan istrinya Fifie Young, Andjar Asmara dan istrinya Ratna Asmara pindah dari panggung ke film. Java Industrial Film Co: di bawah  pimpinan The Teng Chun memakai orang panggung yang berasal dari “Dardanella” dalam filmnya “Rentjong Atjeh”.

Begitulah orang-orang pindah ke film. Kemudian Andjar Asmara dan Ratna Asmara  ditarik oleh Java Industrial Film membuat film “Ratna Mutu Manikam” serta cerita ANdjar Asmara sendiri “Nusa Penida” di mana dalam kedua film tersebut, turut main Astaman yang dikenal sebagai pemain “Dardanella. Rd Arifien, seorang wartawan yang belakangan ini memimpin majalah “Varia”, dalam tahun 1935 masuk dalam tonil modern. Kemudian masuk Union Film Co. dalam tahun 1940, bekerjasama dengan Saroen dan seorang ahli Tionghoa bernama Hu. Kemudian R. Inoe Perbatasari, seorang wartawan dan sesudah  tahun 1935 masuk tonil, ikut pula bermain dalam cerita-cerita “Seribu Satu Malam” dalam perusahaan The Java Industrial Film Co. S. Waldi yang dapat dikemukakan sebagai contoh tokoh tonil modern terjun pula ke dalam film, lalu sesudah tahun 1938 main dalam film reklame dengan Saroen, kemudian dilanjutkan dengan Star Film Co. Kemudian Inoe Perbatasari melanjutkan karier dengan membuat film dengan Jacarta Film Co. dengan produksi pertamanya “Putri Rimba”.  Suska (yang mengikuti Dardanella sejak tahun 1935 waktu berkeliling di luar negeri, dalam tahun 1936 dapat pengalaman membuat film sebagai asisten sutradara ketika Dardanella membuat film “Dr Samsi” di sebuah studio di Calcutta, sesudah kembali ke tanah air dalam tahun 1941 sebagai pengarang dan sutradara Oriental Film Co. membuat film “Panggilan Darah”.

Begitulah perkembangan film diperkuat oleh pemain-pemain tonil modern dan pengusaha-pengusaha Tionghoa, yang bukan saja pemain-pemainnya berkebangsaan Indonesia tetapi ceritanya juga dihubungkan dengan kehidupan orang Indonesia. Sudah tentu ketika itu orang-orang Tionghoa membikin film untuk penonton Indonesia berarti bersaingan dengan film-film import Tionghoa. Dengan demikian bermunculanlah film-film: Djula-djuli Bintang Tudjuh, Mustika dari Djenar, Ratna Mutu Manikam, dll. R. Arifien membuat film “Ciung Wanara” kemudian Java Industrial Film CO membuat film “Tengkorak Hidup”  dan Njoo Cheong Seng  bersama istrinya Fifie Young membuat “Krisis Mataram” dan “Zoebaidah”. Andjar Asmara dan Ratna Asmara membuat “Kartinah”, produksi JIF. Kemudian Union Film Co. memakai  Rd. Arifien dan Saeroen untuk membuat film-film “Kedok Ketawa”, “Harta Berdarah”, “Bajar dengan Djiwa” dan “Asmara Murni”. Suska  membuat film lagi untuk Union Film Co. “Siti Nurbaja” dan “Melati van Agam”. Andjar Asmara masih dalam lingkungan dunia film sampai tahun 1949, tapi sesudah itu ia digantikan dengan masuknya seorang pendiri   Sandiwara Penggemar “Maya” Usmar Ismail.

Cerita filmnya yang pertama ialah sebuahh saduran karangan Moliere L’AVERE yang diberinya nama “Harta Karun”. Kemudian menyusul karangannya yang berdasarkan Tonil “Tjitra”.

Demikianlah dalam masa 1945-1950, Andjar Asmara, Fred young, Njoo Cheong Seng, Usmar Ismail dan beberapa tokoh pendiri sandiwara menerjunkan diri bulat-bulat pada dunia film. Akibatnya, sandiwara mati.

Rupanya kematian sandiwara dalam tahun-tahun di atas adalah kematian “orang-orang tua”. Di Yogyakarta lahir Cine Drama Instituut yang kemudian menjadi Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI), kemudian muncul group-group teater yang dipimpin oleh Kirdjomuljo, WS. Rendra, Soebagio Sastrowardojo, Dr Hoejoeng, dll. Dan di Bogor timbul “Teater Nasional” dan “Teater Bogor”.

Tetapi perusahaan-perusahaan film yang dipegang oleh orang-orang Indonesia terus tumbuh, baik yang melanjutkan dari jaan Jepang, umpamanya Tan & Wong Brother Film Cp. Bintang Surabaja Film Co. yang dulunya bernama Java Industrial Film, South Pasific Film Coorporation dan Perusahaan Film Negara (PFN)

Pada tahun 1955 di Jakarta berdiri Akademi teater Nasional Indonesia (ATNI) yang dipimpin oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma. Lahirnya ATNI merangsang  tumbuhnya teater di tanah air, lalu bermuncullah di Bogor, Jogjakarta, Makasar, Medan, Surabaya, Bandung, dll. Tetapi tidaklah lama, karena ramainya kembali dunia film. Usmar Ismail yang memiliki Perfini, Djamaluddin Malik yang memiliki Persari, dll. Mulai ramai membuat film, maka bermuncullanlah film-film: The Long March, Enam Djam di Jogja, Dosa Tak Berampun, Embun, Terimalah Laguku, Kafedo, Krisis, harimau Tjampa, Lewat Djam Malam, Arni, Tamu Agung, Tiga Dara. Kemudian pada tahun 1959, menyusul Tjambuk Api, Pedjuang, dan demikianlah seterusnya. Setelah semua itu, ATNI pun mati. Wahju Sihombing , Soekarno M Noor, Wahab Abdi, Ismed M Noor, Pietradjaja  Burnama, Tatik Malijati, Mansjur Sjah, pendeknya semua terjun berama-ramai ke film.

Dalam tahun 1971, barometer teater Indonesia ditentukan oleh tiga group: Di Jakarta, “Teater Ketjil” yang dipimpin oleh Arifien C. Noer dan “Teater Populer” yang dipimpin oleh Steve Liem alias Teguh Karya. Dan di Jogja, “Bengkel Teater Jogja” yang dipimpin oleh WS Rendra. Dahulu di Bandung ada “Teater Perintis” yang dipimpin oleh Jim Lim, tetapi setelah ia berangkat ke Paris, teater inipun berangkat pula entah kemana.

Apakah teater batu loncatan untuk film? Teguh karya sekarang sedang mengerjakan film “Wadjah Seorang Lelaki”,  Cerita/skenario/sutradara oleh Teguh Karya sendiri. Film ini adalah kerjasama Teater Populer dengan Sarinande Film yang dipimpin oleh Turino Djunaedi. Kemudian kita dengar dari Jogja, WS Rendra akan turut bermain dengan sutradara Motinggo Busje dalam produksinya “Tjintaku Jauh di Pulau”. Di samping itu, Bengkel Teater Jogja telah membantu D. Djajakusuma dalam pembuatan film “Api di Bukit Menoreh”. Arifin C. Noer juga terjun ke film. Dia telah turut mengulurkan tangan membantu sutradara Bay Isbahi dalam produksinya “Bengawan Solo” (versi Baru), Kipas Sutra, dan sekarang sedang menggarap film “Sanrego”, produksi Alam Film Makasar.

Apakah ini semuanya suatu pengulangan? Atau mengingat terbelakangnya perfilm-an Indonesia, maka turut serta menanggulanginya? Tetapi SOS Teater Indonesia. Juga SOS Film Indonesia.(***)

Sumber: Harian Indonesia Raya, 9 Pebruari 1972

B-P-720209-IR-SOS Teater (1)

Tinggalkan komentar