(Aneka, 1954) Bachtiar Effendi

Seniman Kaliber Besar:

BACHTIAR EFFENDI

Bachtiar Effendi

Bachtiar Effendi

Ia putera dari Pak Soelaiman Effendi, saudara muda dari Pak Roestam Effendi yang terkenal, asli putera Minangkabau tulen. Selagi ia duduk di bangku AMS Bandung, darah seninya sudah mulai kelihatan dengan sering-sering memberikan berbagai pertunjukan tari-tarian Minangkabau dan bermain silat setiap diadakan keramaian di sekolahnya.

Ia sangat gemar menulis cerita-cerita buku, di samping itu juga bekerja sebagai pembantu 9juru warta) dari berbagai harian Indonesia dan Belanda untuk menambah uang belanjanya, atau dipakai untuk membeli buku-buku pelajaran, yang diutamakan buku-buku yang mengenai ilmu sandiwara dan film.

Sebermula cita-cita orangtuanya supaya Bactiar Effendi sedikit-dikitnya mendapat gelaran Messter in de Rechten. Tetapi cita-cita orangtuanya itu telah kandas   di tengah jalan, oleh karena pada tahun 1930 sehabis ia meninggalkan bangku AMS, Bactiar lebih mendekati TANS FILM COY (perusahaan Film)  daripada menuntu ilmu kehakiman.

Setiap hari Bactiar mengunjungi studio Tans Film Coy di jalan Gunung Sahari Kemayoran, melihat opname dengan pengharapan ia sendiri ingin turut main. Kebetulan regisseur LIE TEK SOEI yang sedang membikin film NANCY (Anak Njai Dasimah) pada suatu hari memerlukan banyak figuran. Atas permintaan Regisseur Lie Tek Soei ini, Bachtiar tidak mau membuang kesempatan, ia telah turut bermain sebagai figuran yang keluarnya hanya 5 shoot saja. Besarnya honorarium untuk 5 shoot itu hanya Rp. 2. (dua rupiah).

Keinginan bermain film bertambah hari bertambah besar, meskipun ia tidak disuruh main lagi. Setiap hari sahaja mengunjungi studio dan mendekati regisseur Lie yang mulai menaruh perhatiannya kepada Bachtiar, karena selalu meskipun tidak disuruhnya, Bachtiar meayani keperluan Regisseur Lie Tek Soei.

Waktu regisseur Lie membikin film MELATI VAN AGAM, Bachtiar telah dipilih memegang peranan yang sedikit ke muka, sebagai Sutan Pa Lindih temannya Idrus, merangkap pembantu Reg. Lie, dengan diberikan gaji tetap Rp. 75 (tujuh puluh lima rupiah).

Pengaruh uang setiap bulan Rp. 75 itu telah mematahkan cita-cita orangtuanya Bachtiar yang mengharap puteranya itu menjadi hakim.

Bachtiar terus-menerus mempelajari regie dan menulis skenario, akhirnya oleh Lie Tek Soei juga, ia telah dipilih lagi memegang peranan Si Ronda dalam film cerita “SI RONDA” yang penuh perkelahian dan perampokan.

Disamping Tan Film Coy membikin Si Ronda, KRUGER FILM COY di bandung, perusahaan film kepunyaan Orang Jerman, setelah membikin film-filmnya antara lain KARNADI – EULIS ATJIH – LUTUNG KASARUNG, dll. Ia mulai mengadakan eksperimen baru, yaitu film bicara. Oleh karena hasilnya tidak memuaskan, maka film-film bicara keluargan Kruger Film Coy tidak disuguhkan kepada khalayak ramai. Akhirnya Kruger Film Coy bersatu dengan Tans Film Coy, membikin film bicara, dan pada waktu itu regisseur Lie Tek Soei sudah tidak bekerja lagi pada Tans Film Coy.

Atas persetujuan kedua perusahaan tersebut, telah dipilihlah cerita “NJai Dasimah” yang pertama dijadikan film bicara, dan Bachtiar Effendi diangkat menjadi Regisseur menggantikan kedudukan Regisseur Lie Tek Soei itu.

Meskipun dirasakannya sangat sukar, karena beralih dari film bisu ke film bicara itu, menghadapi serba-serbi dan cara yang asing dan baru, tetapi dengan keyakinan dan keinginan yang menyala di dadanya, Bactiar Effendi , akhirnya film NJAI DASIMAH yang bicara, telah dapat diatasi dan mendapat perhatian yang hangat sekali dari khalayak ramai.

Jelas dan terang, menurut biografi di atas, Regisseur Indonesia yang pertama  membikin film bicara adalah BACHTIAR EFFENDI.

Pada tahun 1931, tersiar kabar bahwa salahsatu perusahaan film Amerika yang paling besar, akan mendirikan studionya di Jakarta, dan akan dibikin film lebih besar lagi dari seluruh film studio yang ada di Indonesia.

Akibat tersiarnya kabar yang dibesar-besarkan itu telah mengakibatkan mundurnya pembikinan film-film di Jakarta, dan akhirnya hampir seluruh studio.

Oleh karena berhenti dari Tans Film Studio pada kira-kira tahun 1932, Bachtiar Effendi kembali ke dunia persuratkabaran. Selama itu, baik di surat-surat kabar (harian), maupun di majalah-majalah, tulisan-tulisan Bachtiar Effendi sebagian besar mengenai film dan sandiwara, yang pada masa itu masih disebut bangsawan/stambul.

Pada tahun 1935 Bachtiar lebih memperdalam ilmu sandiwara, terutama setelah ia melihat pertunjukan sandiwara DARDANELLA di bawah pimpinan A PIEDRO seorang bangsa ras putih, dibantu oleh Andjar Asmara seorang wartawan yang kenamaan.

Dardanella-lah yang pertama merevolusikan dari bangsawan/stambul beralih ke SANDIWARA. Menurut pandangan Bactiar Effendi waktu itu, Sandiwara dapat digunakan untuk propaganda.  Dan hasilnya dapat melebihi press, karena pertunjukan sandiwara langsung didengar dan dilihat oleh umum, sedangkan pers hanya dibaca  dan dimengerti oleh orang-orang yang dapat membaca dan menulis saja, yang jumlahnya masih kurang sekali.

Dengan mengambil keputusan yang bulat , Bachtiar Effendi masuk pada Dardanella sebagai pemain, berkumpul dengan Andjar Asmara, Ratna Asmara, Astaman, Henry Duarte, Ferry Kock, Lui Gadok, dll.

Waktu Dardanella bermain di dalam JAARBEURS di Bandung, untuk pertama kalinya ia diberikan peranan di dalam cerita “TJANG” dimainkan oleh Erni alias MISS DJA.

Di dalam menjalankan rol yang sekecil itu, nampak di matanya A. PIEDRO, bahwa Bachtiar mempunyai darah pemain watak yang selanjutnya di dalam cerita DR SAMSI, ia dipilih memegang peranan sebagai MR. SUGIAT. Sehabis itu memegang peranan utama sebagai JUSUF di dalam cerita SINGA MINANGKABAU gubahan Andjar Asmara dan Bachtiar Effendi sendiri.

Di tahun 1935 juga Dardanella dipecah jadi dua bagian, yang sebagian dengan memakai nama ROYAL BALINESSE DANCE melawat ke Tiongkok dengan pimpinan antara lain A. PIEDRO, ANDJAR ASMARA, dan BACHTIAR EFFENDI sebagai Asisten Manager.

Setelah mengunjungi beberapa tempat yang besar-besar, di Tiongkok dengan mendapatkan sambutan yang memuaskan, Royal Balinesse Dance kembali ke Malaya, kemudian digabungkan lagi dengan Dardanella yang tidak melawat ke luar negeri itu.

Gabungan ini kembali memakai nama DJA’S DARDANELLA membikin trip ke BURMA, kemudian melangsungkan perjalanannya ke INDIA.

Di India, DJA’S DARDANELLA membikin kontrak dengan RADHA FILM COY untuk membikin film Dr SAMSI, kali ini Dja’s Dardanella diperkuat tenaganya bahagian perintis jalan oleh seorang wartawan muda SUTAN USMAN KARIM (SUSKA).

Di dalam pembikinan film Dr. Samsi, selain Bachtiar Effendi turut juga main sebagai Dr. Achmad, skenarionyapun ia sendiri yang menuliskannya.

Pada kira-kira bulan Mei 1936, berhubung dengan satu dan lain sebab, Dja’s Dardanella telah pecah di BOMBAY. ¾ kembali ke Indonesia, dan yang ¼ nya lagi tinggal bersama-sama Miss Dja, meneruskan perjalanannya ke seluruh Eropa dan Amerika hingga kini setelah A. PIEDRO suaminya Miss Dja meninggal dunia, Miss Dja sendiri menetap berumah tinggal di Amerika.

Sekembalinya dari Bombay ke Jakarta, di tahun 1936 pula, Andjar Asmara, Ratna Asmara, henry Duarte, Suhara Effendi (yang waktu itu belum menjadi istri Bachtiar Effendi), Sn. Gng. Bachtiar Effendi dll telah berkumpul untuk membangun sebuah sandiwara lagi dengan nama BOLERO.

BOLERA satu-satunya sandiwara yang terdiri dari orang-orang terpelajar dan tempatnya beberapa orang wartawan berkumpul sebagai penulis dan pencipta cerita, diantaranya: ANDJAR ASMARA, SUTAN USMAN KARIN (SUSKA), Rd. INU PERBATASARI, BACHTIAR EFEENDI, RIFAT SENIKENTARA, dan RD ARIFIEN.

BOLERO di Sumatra mengalami berbagai penderitaan, beruntung yang jadi impressarionya dewasa itu Suska, dengan mempersatu padukan fikiran dengan staf pimpinan Bolero yang ada, akhirnya bisa berjalan terus. Pada waktu itu (Akhir tahun 1937) Andjar Asmara di Sumatra menarik diri dari Bolero. Ia bekerja untuk jadi wakil HIS MASTER VOICE di Indonesia.

Pada tahun 1938, Bolero menjadi pertanggung jawab Bachtiar Effendi seluruhnya yang pada waktu itu Bachtiar telah menikah dengan SUHARA bintang dari Bolero, adik muda dari Ratna Asmara.

 Oleh Bachtiar kemudi Bolero dibawa ke Malaya, dan pada waktu itu model sandiwara belum disukai rakyat Malaya, meskipun MISS RIBUT dan DARDANELLA pernah main di Malaya, akan tetapi permainannya lebih condong ke model BANGSAWAN/STAMBUL yang lazimnya tontonan serupa itu lebih disukai rakyat Malaya, daripada model sandiwara. Mula-mula Bolero sendiri tidak mendapat perhatian dari rakyat Malaya, akan tetapi karena Bachtiar Effendi yakin, bahwa di hari-hari yang mendatang Bangsawan/Stambul akan terdesak oleh kemajuan sandiwara, Bolero berjalan terus dengan tidak merobah pendiriannya: yalah mendidik rakyat ke arah NASIONALISME. Hampir setiap cerita yang dimainkan oleh Bolero selalu berisikan pendidikan yang menginsyafkan rakyat. Tidak heran kalau nama Bachtiar Effendi tidak terlepas dari matanya pemerintah Inggris.

Seperti halnya juga dengan sandiwara-sandiwara yang berada di Indonesia, di waktu Jepang masuk, semuanya baik secara langsung maupun tidak, dengan sendirinya dijadikan alat propaganda SEN DEN BU, begitu halnya dengan BOLERO Singapura.

Bolero berjalan terus hingga pemerintah Jepang gulung tikar, dan pemerintah Inggris kembali pada tahun 1947. Atas persetujuan anak buah Bolero seluruhnya, permulaan tahun 1947 itu, Bolero ditutup dan masing-masing anak buahnya yang berasal dari Indonesia, kembali ke tanah tumpah darahnya, ingin menyaksikan dari dekat INDONESIA MERDEKA.

Keluarga BACHTIAR EFFENDI pun tidak ketinggalan mau melihat Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan, tetapi … satu jam sebelum kapal yang akan membawa mereka berangkat, polisi Inggris sudah menjerat Bachtiar ke dalam penjara.

Sebenarnya penangkapan itu ada baiknya juga untuk   Bachtiar, karena di sepanjang perbatasan antara jajahan Inggris dan Belanda, polisi-polisi Belanda sudah bersiap-siap untuk menyergap nama EFFENDI yang tidak disukai dan dianggap musuh oleh Pemerintah Belanda.

Pemerintah Inggris telah meminta Bachtiar untuk bekerja bersama-sama guna kepentingan Inggris, tetapi tawaran itu oleh Bachtiar telah kontan ditolaknya. Akhirnya Bachtiar dikeluarkan dari tahanan dengan perjanjian ia tidak boleh menghasut (menginsyafkan rakyat).

Setelah Bachtiar merdeka kembali, ia bekerja pada CHISTY FILM COY sebagai Regisseur merangkap penulis cerita dan pemain. Film pertamanya dari CHISTY adalah SERUANG MERDEKA.

Selanjutnya Chisty Film Co dibeli oleh SHAW BROS, dengan sendirinya artistennya juga pindah ke Shaw Bros, berikut Bachtiar Effendi dengan seorang temannya yang karib DJAFAR WIRYO. Tidak sedikit jumlahnya film-film yang dibikin oleh Bachtiar di studio Shaw Bros, kemudian atas anjuran-anjuran putera Indonesia yang berada di Singapura, ia telah diajak mendirikan sebuah perusahaan dagang yang diberi nama IMPORT EXPORT. ORGANISASI.

Sumber: Aneka, Nomor 12 tahun V, 20 Juni 1954

Bachtiar Effendi

Bachtiar Effendi

Tinggalkan komentar