(Budaya, 1961) AA Navis: Surat-Surat Drama untuk Nasjah Djamin (1)

Surat-Surat Drama untuk Nasjah Djamin

Oleh: AA Navis

 

Sdr Nasjah,

Sejak permulaan tahun 1959, menumpang di rumahku seorang paman. Ia seorang guru dan 2 tahun sebelumnya kembali dari Amerika, di mana selama setahun ia belajar bahasa Inggris di Michigan University. Ia disipliner dan juga seorang moralis yang tiada bertara diantara orang-orang yang kukenal. Dari dialah aku mulai tertarik hendak membicarakan suatu segi kesusastraan kita, yang selama ini tidak dijamah orang.

171024-Pameran nasdjah Djamin (1)Mulanya ketika ia kusuguhi dramamu “Titik-Titik Hitam”, dengan spontan ia bilang bahwa semua tokoh dalam dramamu itu adalah manusia lemah. Manusia tanpa pegangan. Meskipun tokoh-tokoh tersebut berniat hendak membunuh diri atau minta dibunuh saja, namun pegangan jiwa mereka  tak juga  terlihat. Tak seorangpun yang menyesali perbuatannya dan menyesali dirinya sendiri, selain hanya menyesali orang lain. Mungkinkah ini suatu contoh yang typis terhadap manusia Indonesia dewasa ini? Manusia tiada pegangan jiwa dan tiada mengenal zelferitiek.

Dramamu mengemukakan suatu problem. Tidak memecahkannya. Pemecahannya terserah bagi setiap orang yang telah membaca dan melihat pementasannya. Bagaimana pemecahannya? Kau lalu mematikan Hartati. Pemecahan yang paling mudah. Sama mudahnya dengan menghukum orang jahat, agar ia tidak menjahat lagi.

Kata paman tersebut, bahwa suatu problem masyarakat pernah terjadi pula di Amerika. Ceritanya begini: Sekali terjadilah di suatu sekolah  menengah seorang guru kepala mempergoki muridnya sedang berciuman di dalam kelas, selagi murid-murid lain sedang di luar kelas. Si guru marah sekali. Keduanya dimarahi dengan kata-kata: “Perbuatan kalian yang seperti babi itu tak patut dilakukan di dalam kelas”. Ekor dari kemarahan itu berlarut-larut sampai ke koran, ke Majelis Guru, ke Panitia Sekolah, ke Majelis Orang Tua Murid. Mula persoalan bagaimana membendung akhlak yang telah merosot itu. Tapi akhir situasi jadi berubah. Sekarang guru kepala itulah yang jadi persoalan, karena ia sebagai pendidik tak pantas mengucapkan kata babi itu terhadap muridnya. Maka si guru kepala dideaklah supaya minta berhenti.

Demikian cara Amerika memecahkan masalah nafsu kelamin yang telah terjadi. Mereka tidak menghukum si murid yang telah berbuat, karena apa yang diperbuat itu adalah suatu hal yang lumrah. Yang tidak lumrah ialah kata-kata “babi”, kata-kata yang tak sopan. Dan hanya itu yang harus dihukum.

Jadi yang masih jadi problem bagi kita, tidak lagi jadi problem di sana. Kata-kata kasar oleh seorang guru kepada muridnya, tidak jadi problem bagi kita, tapi jadi proble di Amerika.

Dan dramamu “Titik-Titik Hitam” mengemukakan suatu problem yang telah terjadi pula. Kalau bagimu yang menciptakan drama itu mudah saja. Matikan Hartati. Tapi bagi orang ramai apa yang harus diperbuatnya setelah menyaksikan dramamu itu? Kalau situasi yang kau lukiskan itu terjadi pula atas diri mereka. Bunuh diri? Mengapa bunuh diri? Bunuh diri tidak menghapuskan kesalahan, tidak menghapus dosa. Bunuh diri Cuma mengelakkan kemiluan (pengganti istilah “kemaluan” bagi orang Minangkabau agar jangan salah arti  kepada istilah yang telah umum dipakai) hati dari kesalahan yang telah dilakukan.

Inilah yang jadi pangkal kenapa aku ingin menulis berpanjang-panjang kepadamu sekarang. Pada masa aku ngomong-ngomong dengan paman itu, sedianya aku ingin hendak mengetahui saja, apakah kata sastrawan kita dalam segenap hasil karyanya tentang perbuatan nafsu kelamin itu. Sebab kebetulan pula di saat itu kira-kira aku membaca sebuah cerpen dari seorang sastrawan kita yang terkenal pada sebuah majalah, yang isinya bagaimana 4 atau 5 orang tokoh di dalamnya telah mempersamakan seorang perempuan lacur, dengan jaya keisengan dan kejenakaan. Jijik aku membacanya, hingga tak berani aku menaruhnya lebih lama di rumahku.

Tapi ketika itu aku sangat terpencil dari segala kegiatan kesusastraan kita dan perpustakaanku tidak cukup. Rancanganku semula sederhana saja. Yakni sekedar akan mengemukakan apa yang kuketahui tentang hasil karya sastrawan kita tentang perbuatan nafsu kelamin, sekedar hendak menghitung  presentasenya saja, berapa persen yang menjadikannya sebagai suatu problem, berapa persen yang memandangnya sebagai suatu hal yang lumrah dan berapa persen dari semua karangan yang berisikan perbuatan itu.

Tapi kemudian, setelah aku dikirimi oleh Redaksi beberapa eksemplar Majalah Budaya, timbullah lagi niatku yang lebih dari setahun terpendam itu. Dan kini, arahanya kurobah kepada membicarakan drama, di mana perpustakaanku cukup banyak untuk membantunya. Dan ketika aku hendak mulai,  bergalaulah masalah yang timbul. Apa aku tetap berpegang pada niatku semula. Sebab ketika aku membaca drama-drama dari Idrus, Achdiat, Amal Hamzah, Armijn Pane, Utuy dan sebagainya, aku menemui berbagai obyek yang menarik. Yang kira-kira seperti berikut: egosentrisme pengarang, cita-citanya, kelemahan jiwa, immoralitet, dan sebagainya yang tidak kurang harganya untuk kukemukakan kepadamu. (Bersambung)

Sumber: Majalah Budaya Nomor 01 & 02, Januari-Pebruari 1961.

Tinggalkan komentar