(Sinar Harapan, 1972) Beban Terlampau berat Bagi Azwar AN (Pementasan Teater Alam: Si Bakhil

Beban Terlampau berat Bagi Azwar AN

Oleh: Jasso Winarto

 

1972 - Teater Alam - Si Bakhil

SEMAKIN tampak di dalam kehidupan berteater di Indonesia untuk tampil di pentas dengan suatu keunikan tersendiri. Unik di dalam pengambilan sumber artistik, unik di dalam metode peragaan dan unik di dalam penyutradaraan. Arifin C. Noer misalnya, dia lebih terpukau oleh ide-ide yang surealistik.

Pementasannya berat, lengkap dengan hunor yang tragik, karena maut sering menjadi tema sentralnya. Teguh Karya lebih tertarik pada bentuk teater yang manis, maupun dibuat manis dengan sekali-sekali berusaha untuk mengangkat teater rakyat Bali atau Batak untuk mewarnai pergelarannya.

Sedangkan Rendra selalu bergumul dengan misteri kehidupan universil sambil memberikan pukulan-pukulan mengejutkan lingkungan masyarakatnya untuk membuktikan dirinya sebagai tokoh yang kontroversial.

DAN setelah lepasnya dari groupnya Rendra, Azwar AN mendirikan teater alam, yang pementasannya baru-baru ini di di Taman Ismail Marzuki  telah menyuguhkan masakan daging cacahan Moliere dengan bumbu ludrukan Surabaya dan Srandul, gaya permainan Klatenan (istilah ini saya pinjam dari Sdr Rujito dari LPKJ).

Di dalam teater modern Indonesia, gejala-gejala ini adalah menggembirakan. Karena keunikan ini jelas menunjukkan pemberontakan yang masuk akal terhadap kezaliman berbuat.

Lemah Mental?

Selain jabatan kecil-kecil  lainnya, Azwar AN kali ini bertindak sebagai tukang gubah cerita, sutradara dan pemain utama sekaligus. Cerita si Bachil adalah gubahan N. ST. Iskandar dari “Tartufle” karya Moliere dan ini digubah, dirubah, dan ditambah lagi oleh Azwar AN. Gaya kehidupan yang borjuis tingkat tinggi disulap menjadi permainan rakyat dengan menampilkan tokoh-tokoh yang ada di kalagan rakyat desa.

Waktu yang dirangkum di dalam cerita ini diperkirakan terjadi pada permulaan abad ke XX ini, tetapi ini tidak menjadi penting, sebab sutradara jelas sengaja mengesampingkan tabu-tabu anakronistik.

Tuan Malik menjadi utama di dalam komedinya Teater Alam yang berjudul si Bachil tadi. Orangnya keras hati, teliti dan kikirnya di luar dugaan setiap manusia. Sebagai sebuah karakter yang sentral, tokoh ini sangat menarik sekali.

Karena dia selalu memakai pertimbangan yang logis seratus prosen terhadap hal-hal yang menyangkut uang.  Kemudian terlibat dengan percintaan yang ternyata gadis yang dilamarnya itu, neng Anna adalah juga pacar anaknya yang laki-laki.

Jalan ceritanya sendiri tak ada keunikannya. Karena persoalannya betul-betul remeh temeh, tetapi banyak hal yang ingin dikatakan oleh Moliere lewat komedinya itu. Misalnya snobisme yang menjadi wabah di kalangan tingkat atas, pemerasan halus yang berkedok “ingin menolong”, anak muda yang lemah mentalnya, dan sebagainya.

Ini semua adalah bahan-bahan bagus untuk memproduksi ketawa jenaka. Tetapi kenapa dramawan-dramawan Yogyakarta gagal membuat Jakarta ketawa? Kenapa komedi ini tak merangsang spontanitas para peminatnya?

Memang kadang-kadang beberapa episode dari komedi ini bisa menyentuh humor para peminatnya, tetapi tak begitu banyak. Paling tidak, menurut saya banya adegan-adegan yang berlalu begitu saja.

Ngotot

MENTALNYA para pemain Teater Alam masih lemah. Ini bisa dimengerti, sebab ini adalah permainan mereka yang pertama di jakarta, kota di mana teater dari udik biasa dijagali. Komplikasinya, mereka bermain dengan otot. Sejak gong digebuk tanda permainan dimulai, sampai penonton bertepuk tangan,  mereka bermain dengan stel kenceng, yang berlebihan.

Tukang tembangnya berwajah kosong, dengan memaksakan gerakan dinamik yang pucat lesi tanpa darah. Keplok setannya ampang, tidak murni. Kegembiraannya, tak tampak, sepertinya orang susah hati semuanya yang dipaksa oleh sutradaranya untuk ketawa agak ugal-ugalan supaya tidak tampak minder.

Mungkin tempo permainan bisa bagus. Dan pertunjukanpun lancar. Tetapi akibat stel ngotot yang terus menerus tadi, progresi menjadi impian semata. Ada kedataran berbicara lewat peragaan. Banyak bangunan untuk prasarana ke klimaks dan anti klimaks menjadi lantak. Mereka terlampau kentara di dalam menipu para penggemarnya yang sudah pasrah untuk ditipu lagi. Akibatnya, permainan dianggap kurang meyakinkan. Terlampau amatiristis.

Teater yang ndesani

INI Ide Azwar yang paling bagus. Sebuah teater modern yang memakai kehidupan desa sebagai sumber artistik. Dia menggunakan pola permainan teater rakyat di kota Klaten yang bernama “Srandul”, semacam teater keliling yang bermain di alam terbuka. Srandul ini biasanya mementaskan cerita-cerita menak, cerita-cerita panji, dan sebagainya. Peran-peran dimainkan secara serabutan.

Setiap peran bisa dimainkan oleh dua atau tiga orang. Di dalam teater modern yang konvensional, hal yang semacam ini disebut oleh Teguh Karya sebagai “toleransi yang berlebihan”.

Juga di dalam komedi ini, Azwar menyerahkan peran Pak Malik kepada dua orang pemain. Tetapi mesti ditanyakan apa motivasinya? Aapakah tokoh ini memiliki karakter ganda? Apakah ada strata struktur di dalam diri si Bachil-kah?

Nah, ini yang kurang kuat mendasari eksperimen itu. Paling tidak, tidak terlihat urgensinya. Sebab tidak menimbulkan suatu kesan yang luar biasa.

Dalam pada itu, nyanyian ludruk yang diambil kurang variasi. Kurang sreg. Gaya tembangannya kurang spontan. Kemantaban di dalam tembang teater rakyat sangat memiliki arti yang dominan.

Dan apabila Moliere mau dikawinkan dengan unsur-unsur   artistik seperti disebutkan di atas, maka tugas ini tidaklah ringan. Ide azwar tidaklah sederhana. Banyak sekali hal-hal yang praktis yang membebani dia terlampau berat. Dan pementasan inipun berkata tentang hal yang serupa. Pengolahan dari bahan-bahan itu kurang matang. Hidangan kurang siap. Beban ini masih terlampau berat buat Azwar AN bersama Teater Alamnya. (Jakarta, 13 September 1972).

Sumber: Sinar Harapan, 18 September 1972.

Tinggalkan komentar