(Sinar Harapan, 1976) Resensi Ikranegara: “Perampok “Schiller” yang Sedap Disuguhkan Rendra Dkk

“Perampok “Schiller” yang Sedap Disuguhkan Rendra Dkk

Oleh: Ikranegara

TERTERA dalam buku cara pertunjukan bagi para penonton “Perampok” tentang kejadian di jerman di abad 18 dirubah menjadi kejadian di Pulau Jawa di jaman Sultan Agung, Raja Mataram.

Tanpa sempat membaca naskah aslinya yang dikarang oleh JF Schiller, tentu saja kita tak kan bisa memastikan, seberapa jauhkah “perubahan” yang dilakukan oleh Rendra. Tapi perubahan itu jelas memang ada. Misalnya nama-nama peran, tempat kejadian, kostum pemain, bahkan sampai kepada pola gerakpun  tampak Jawa-nya. Memang bahwa musik di bawah pimpinan Sunarti Rendra yang beralatkan gamelan itu belum memberikan kepastian tentang Jawa-nya. Tapi jelas, sama sekali bukan jerman.

Tema yang menonjol dari “Perampok” ini tak pelak lagi adalah “Rasa berdosa” atau “rasa bersalah”. Sedikitnya ada empat babakan yang secara intens menggulati masalah ini.

Pertama, “rasa berdosa” yang dimiliki oleh seorang ibu, yakni Nyai Adipati Lumajang, yang karena beban ini akhirnya mempercepat ajal saja. Kedua, sahabat dekat Raden Sudrajat yang akhirnya menyadari dosanya kemudian dengan berani mengaku sambil membukakakn kenyataan yang ditutupinya selama ini. Ketiga, tiga orang pengikut Raden Legowo yang merasa salah setelah membakar hangus Desa Sumber Agung. Cuma seorang dari tiga pengikut ini yang bersedia mengaku dan bahkan bersedia menerima hukuman apapun yang akan ditimpakan oelh penduduk atas dirinya. Tapi dua orang lainnya yang menolak sambil merasa yakin akan kebenaran tindakan mereka, akhirnya mendapat hukuman bunuh yang dilakukan oleh sahabatnya sendiri. Tapi yang seorang tadi, alih-alih mendapatkan hukuman malah mendapatkan anugrah pangkat, yaitu Kepala Desa Sumber Agung. Keempat,  adalah Raden Sudrajat yang akhirnya kepepet, disamping terus diburu ketakutan akanpembalasan, maka “rasa berdosa” yang dihidapnya makin menekan jiwanya. Dan setelah jelas pembalasan itu tak mungkin dihindarinya, maka iapun memilih jalan bunuh diri dengan minum racun.

Kalau kita hendak berbicara tentang nilai-nilai yang dikandung dalam pertunjukan ini, maka jelas ia ada dan berkisar di dalam tema pokok tadi. Lalu kalau kita kaitkan masalah ini dengan apa yang tertera dalam buku acara pertunjukan “Perampok” yang antara lain berbunyi  “Di dalam keadaan krisis nilai sebagaimana terjadi di saat ini, gerakan kebudayaan seperti tersebut di atas tidak bisa diremehkan” maka mau tidak mau mestinya yang dimaksudkan adalah nilai-nilai itu.

Dengan kata lain, kitapun tidak mau menyimpulkan bahwa lewat Schiller Rendra mencoba mengingatkan kita kepada masalah “rasa bersalah” itu dan segala nilai-nilai yang ada di seputarnya. Sudah tentu adalah hak Rendra untuk berpendapat demikian tentang kondisi kehidupan kita  (yang dinilainya seperti itu) Adalah juga hak Rendra untuk menawarkan kembali sikap Neo-Klasik Barat yang telah diberi baju Jawa itu. Tetapi adalah juga hak kita, untuk menerima atau menolak pahlawan romantik yang dipimpin Raden Legowo.

Persoalan ini memang cukup menarik. Terlebih karena dilontarkan dan ditawarkan oleh Rendra, yang kita lebih mengenalnya sebagai seniman kontemporer kok seakan-akan menyerukan sebuah “gerakan kebudayaan”. Mau tidak mau mengingatkan kita kepada “gerakan renaissance” model Eropa.

Dilengkapi dengan segala yang Jawa itu, apakah Rendra sebenarnya menganjurkan “gerakan renaissance Jawa”.  Kalau memang begitu maunya , maka timbul pertanyaan: Cukupkah itu dengan jalan mengimpor model Eropa yang telah diberi baju Jawa saja?

Tapi kalau kita teliti kembali buku acara itu maka Rendra kiranya lebih menekankan kepada segi lain yang ada dalam pertunjukannya itu.

Kita kutip: “.. supaya bahan-bahan pertimbangan yang kita pakai untuk menyusun kebijaksanaan tidak semata-mata kita ambil dari kesimpulan yang dibuat oleh kekuatan asing yang menawarkan barang dagangan mereka saja, tetapi terutama kita harus memakai bahan-bahan pertimbangan yang disimpulkan dari pengalaman hidup bangsa kita sendiri,”

Sudah tentu, di dalamnya terkandung niat dan tujuans erta anjuran yang baik. Hanya saja: Adakah semua itu terkandung dalam pertunjukan “Perampok” nya yang baru lalu?

Yang terang, seperti halnya dalam pementasannya yang  sudah-sudah ia memang tak jera memberikan penyedap bagi suguhan yang disodorkan di TIM, termasuk juga kali ini. Disinggungnya misalnya tentang hutang empat puluh ribu ringgit, Taman Luma yang indah, ilmu keselamatan, pedagang kafir di Sunda Kelapa dan segala lainnya yang tergolong kepada “kritik sosial” atau yang politik.

Komunikasipun terjadilah antara penonton dengan “penyedap-penyedap” ini, dan barangkali inilah bagian yang terutamakan sekali mampu berkomunikasi dengan penonton. Maka di mata penonton tak pelak lagi untuk kesekian kalinya Rendra menudingkan telunjuknya ke alamat yang itu-itu  lagi.  Selain itu Rendra tak ketinggalan menaburkan serba sedikit humor-humornya yang segar. Maka boleh dikata sempurnalah sudah suguhan itu untuk disebut sedap bagi sebagian terbesar penonton.

Dengan tampilnya peranan yang besar dari penyedap-penyedap itu maka penonton memang tidak sempat lagi menuntut kepada apa-apa yang telah dituliskan di buku acara seperti: “… kita harus memakai bahan pertimbangan yang disimpulkan dari pengalaman hidup bangsa kita sendiri” tersebut. Sebab yang penting ialah: “Sedaaaaap…!”

Bahkan tentang saat dramatik mestinya bisa dibina dengan mudah, misalkan dengan meletakkan pertanyaan: Apa yang terjadi atas diri Raden Sudrajat? Apakah ia akan mati sakit oleh beban jiwa seperti ibu nya? Apakah ia akan insyaf seperti anak buah Raden Legowo  yang akhirnya mendapatkan anugrah kedudukan sebagai Kepala Desa? Ataukah ia akan menikam dirinya dengan keris seperti yang pernah terlintas di mata ibunya tapi tidak dilaksanakan. Ataukah ia akan membela dirinya dan menolak apa yang disebut  “yang bersalah” itu seperti yang dilakukan dua orang pengikut Raden legowo? Tindakan apakah yang akan diambilnya sehubungan dengan “rasa bersalah” itu? Dan nasib apakah yang akan menimpanya kelak?

Semua itu terluputkan dari tangan rendra karena bukan hanya Rendra yang asyik dengan penyedap-penyedapnya   tadi, tapi juga tampaknya sebagian terbesar dari penonton.

Yang jadi soal di sini adalah, apakah semua ini dilakukan oleh Rendra  karena memang ada kebutuhan untuk itu dari dirinya? Ataukah justru karena Rendra tahu apa yang diinginkan penonton dan diapun bersedia memberikannya , meski apapun resikonya.

Yang nyata adalah suguhannya kali ini memang laku keras.

SEBELUM ini ada “Perjuangan Suku Naga” , “Lingkaran kapur Putih”, dan beberapa lagi Tapi yang sekali ini pertunjukannya didukung oleh pemain-pemain yang jauh lebih siap.

Selain Rendra sendiri yang bermain tetap mengagumkan adalah juga pemain-pemain lainnya tak bisa diabaikan. Misalnya, Udin Syah (Raden Legowo), Bram Makahekum (Gender), Udin Mandarin (Resmolo), Sentanu (Lawu Marta), Hermin Chentini (Roro Dadap), Ani Bahrudin (Roro Kumolo) dan barangkali memang bisa ditambah dengan nama Sitoresmi Rendra.

Adegan demi adegan digarap cermat, sehingga tempo pertunjukan berjalan dengan mantab susul menyusul, dengan dibantu besar oleh seperangkat gamelan yang mengisinya dengan musik. Tapi musik yang terasa efektif untuk pembinaan suasana yang dikehendaki  tampaknya justru dilahirkan oleh sebuah alat yang bernama suling ketika dimainkan secara tunggal.

Semua itu dalam suatu tata nilai yang mapan dan rapi. Barangkali inilah juga yang merupakan salah satu saham, karena dengan demikian maka pertunjukan mudah dicerna secara masal.

Mungkin hanya beberapa orang saja yang sudah merasa bosan dengan alasan bahwa Rendra pada hakekatnya “sudah selesai” atau “sudah berhenti” . Tapi apakah hal ini begitu penting untuk dipergunjingkan? Bukankah asalkan pertunjukannya kali ini tergolong bagus?

Yang kurang barangkali adalah kemampuan setting-dekor yang begitu sulit untuk menolarkan asosiasi kepada hutan. Kalau untuk lingkungan ndalem Kadipaten atau  pun istana sekalipun memang bagus sekali. Tapi sudah tentu tiang gemuk dari kasur itu membawa kita kepada pilar-pilar Yunani dan bukan tiang yang berukir Kraton Jawa. Mungkin selai kalau pembagian daerah penerangan cukup tajam maka asosiasi hutan itu bisa ditampilkan. Bukankah bambu-bambu itu dipancangkan di kiri pentas? Atau mungkin bambu-bambu itu kurang maju ke depan?

Dalam pemakaian pola gerak yang berasal dari kesenian tradisional Jawa, memang hanya Rendra seorang yang mampu menampilkan ragam yang cukup kaya. Pose dan geraknya yang kewayang-wayangan terutama ketika ia membujuk Nyai Adipati Lumajang atau ketika melontarkan monolognyasetelah berhasil menjadi Adipati Lumajang, terkontrol oleh penguasaan teknik yang tinggi.

Nah, saya kira, kali ini Rendra bukan hanya mengandalkan kepada daya tarik “penyedap” itu saja tapi juga kepada mutu keseniannya.

Dengan tetap menghormati “Schiller, maka “penyedap-penyedap itu” tak lagi jadi liar dan tidak lagi menjerumuskan Rendra kepada propaganda macam “Perjuangan Suku Naga” itu dulu.

Sumber: Sinar Harapan, 16 Oktober 1976.

Ikranegara-Bengkel Teater

Resensi Ikranegara atas pementasan Bengkel Teater “PERAMPOK” tahun 1976

Tinggalkan komentar