(Berita Buana, 1981) Menjelang Festival Teater Remaja 81 di Pekanbaru: Teater Riau, Apa Kabar?

Menjelang Festival Teater Remaja 81 di Pekanbaru: Teater Riau, Apa Kabar?

Oleh: Fakhrunnas MA Jabbar

 

FESTIVAL TEATER REMAJA ’81 akan berlangsung  pada pertengahan Maret ini. Sponsornya, di samping Kabin Kesenian P dan K Riau (mungkin) dibantu oleh pihak-pihak lain. Pokoknya sementara, Riau bisa berbesar hati karena penyelenggaraan Festival Teater itu untuk tahun ini dapat berlangsung setelah beberapa tahun yang lewat tidak terdengar gedebak-gedebuknya.

Langkah-langkah persiapan  ke arah  itu, nampaknya makin serius saja, baik di pihak penyelenggaray yang diketuai Idrus Tintin )memang tokoh teater kota ini) dan wakilnya Ibrahim Sattah (penyair Indonesia) ataupun group-group teater yang sudah ada selama ini, maupun yang baru lahir sewaktu-waktu diadakannya festival. Maklum hadiah perangsang (menurut selebaran) yang diberikan kepada pemenang sebagai modal dalam pembinaan teater selanjutnya berupa uang dengan jumlah ratusan ribu rupiah.

Masih dalam tahap menyambut festival, Pihak Yayasan Puisi Nusantara (satu-satunya yayasan yang bergerak di bidang sastra di Raiu) telah menyediakan diri untuk melatih atau memberikan apresiasi teater kepada group-group yang membutuhkan. Lebih lanjut apresiasi secara umum telah diberikan langsung oleh penyelenggara kepada peserta-peserta festival teater (konon yang terdaftar akan diikuti oleh sekitar 13 group teater) belum lama berselang dengan mengambil tempat di Taman Budaya Riau – tempat penyelenggaraan festival.

Dengan adanya festival teater tahun ini, tentu menarik pula bilsa membicarakan perkembangan teater di Riau beberapa kurun waktu yang lalu sampai sekarang. Mungkin, walaupun tulisan ini tidak mampu membicarakan hal-hal keseluruhan secara kompleks dan terangkai utuh.

Sekitar pertengahan tahun 1979 yang lalu, Ediruslan Pe Amanriza (penyair-novelis Indonesia) pernah memberikan ceramah teater pada ulang tahun group Teater BAHANA – pimpinan Idrus Tintin. Judul pembicaraan: “Wah, Kenapa Masih Berteater?”  Menarik memang bila membaca judul yang agak sensasional. Tetapi timbulnya nada pertanyaan demikian, tentu saja setelah dia melihat gerak langkah perkembangan teater di Riau pada waktu itu sudah senen-kemis.

Di awal pembicaraannya, Ediruslan PA mengutip kata Rachman Arge (Ujung Pandang), bagaimana teater masih tetap sebagai Madame Bouvery dari Guslav Flaubert: Wanita Tak Setia dan kelewat banyak meminta dan seterusnya.

Saat itu Ediruslan tidak saja berbicara tentang Riau, malah secara sepintas dia ungkapkan pula suasana perkembangan teater di Indonesia. Bagaimana dalam penyelenggaraaan Pekan Teater yang diadakan setiap tahun oleh Dewan Kesenian Jakarta, peserta-peserta yang ikut dari daerah masih terlalu sedikit dibandingkan luasnya Indonesia. Beberapa data yang dikemukakan, Pada Pesta Teater 1976 hanya 4 kota saja, sedangkan tahun 1971 lebih sedikit malah 3 kota saja, padahal peserta tersebut sudah berjalan selang beberapa tahun. Sekarang? Kalau dikatakan agak meningkat tetapi perubahan tersebut belum nyata. Bagaimanapun kita berpendapat kalau perkembangan teater di tanah air kita masih belum sampai pada suasana yang dicita-citakan. Lantas, kapan masanya?

Menoleh ke Riau suasana lebih memprihatinkan lagi tentunya, walaupun pergerakan teater di sini sudah lama dengan menampilkan puluhan tokoh teater yang bisa dipujikan. Kalau ingin ditanyakan: sudah diperhitungkankah Riau dalam peta perkembangan teater di Indonesia?

Kembali  pada masalahnya dengan meninjau sedikit perjalanan teater di Riau sejak beberapa kurun waktu yang lalu, mungkin pertanyaan tersebut setidak-tidaknya bisa dimengerti lebih arif, walaupun belum terjawab sempurna.

Bustaman Halimy, salah seorang tokoh teater di Riau waktu lalu, pernah merasa “malu” ketika di Jakarta (tempatnya sekarang) oleh sebagian seniman-seniman DKJ dan TIM mempersoalkan dan mempertanyakan: Kenapa Riau tidak pernah ikut ke pesta teater? Apakah sudah tidak ada lagi seniman-seniman teater yang mampu mengembangkan dan membina di sana?

Bustaman mungkin tidak spontan mengakui, tetapi dalam suasana itu dia berkomentar: “…tetapi yang terang di pekanbaru (Baca; Riau PMA)  memang telah jauh tertinggal dari Padang, tetangganya   dalam bidang teater”

Padahal, lanjutnya, pentolan-pentolan yang membuatkan teater Padang maju dan menampilkan diri di khasanah teater tingkat nasional, seperti Leon Agusta, Chairul Harun, dan Jusfic Helmi, pada tahun 1960-an adalah seniman-seniman di Pekanbaru.dan saya yakin perkenalan pertama mereka terhadap teater di mulai di Riau (Bustaman Halimy “Teater di Riau sudah Masanya Digalakkan Kembali” serta 14-5-1979, Pekanbaru)

Perkembangan Teaeter di Riau pada dekade 1962-1967, khususnya di Pekanbaru dibandingkan dengan waktu sesudahnya, cukup baik. Hampir setiap waktu ada apresiasi teater. Rata-rata lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah partai politik yang ada waktu itu telah memiliki group teater sendiri, kecuali Lekranya PKI. Dari kalangan independenpun seperti organisasi-organisasi lokal aktif mengadakan pementasan-pementasan. Group-group tersebut diantaranya Group Mahasiswa IKIP/UNSRI, HSBI, Group teater SMA I, yayasan Megat Sari Rama, pimpinan Kamaruddin Tanjung. Lembaga Karya Budaya-nya Tenas Effendi plus Ok Nizami Jamil, Group teater yang diasuh Rusli dan masih banyak group lain.

Menurunnya penonjolan perkembangan teater di Riau tersebut menurut Bustamy, semenjak adanya Badan Pembina Kesenian Daerah Riau (BPKD) yang dana dan pembiayaannya ditanggung dengan jumlah bantuan yang termasuk besar. Akibatnya, makin banyaklah seniman-seniman teater yang “masuk dan terlibat” di BPKD, sehingga untuk kesempatan-kesempatan pementasan tentu saja lebih memungkinkan karena sarana-sarana lengkap. Akibatnya? Group-group teater yang sudah ada, makin “terpencil” dan akhirnya mati.

Pengamatan seorang Ediruslan lain lagi. Dia bilang, di Pekanbaru sepanjang m=pengetahuan saya tak satupun pernah muncul group teater yang benar-benar serius. Satu dua group pernah ada (seperti yang kita dapati sekarang -1979) semuanya dalam kondisi kurang gizi seperti saya katakan tadi. (Ediruslan Pe Amanriza, “Wah, Kenapa Sih Berteater?” prasaran pada ulang tahun teater Bahana, 27 Mei 1979).

Perkembangan masa lalu bdang teater di Raiu, Ediruslan mengungkapkan, sekitar tahun 1950-an teater sudah ada. Ketika itu pementasan-pementasan drama (teater) sudah dilakukan seperti di Gedng Trikora (sekarang disulap jadi Dan Merdu), di Gedung Theatre Bagan Siapi-api, atau gedung “Nasional” Rengat. Bahkan di ketiga tempat tersebut masih ditemukan gedung sandiwaranya. Selain itu, tentu saja kota Tanjung Pidang tidak bisa dilupakan begitu saja. Pada masanya – sekitar tahun 1960-an teater juga cukup subur.

Menurut Rida K. Liamsi, – yang sempat bincang-bincang dengan saya – waktu itu sudah ada Group Sempena yang bergerak di bidang sastra,  termasuk juga teater. Pementasan-pementasanpun sering pula dilakukan. Karena itu, secara sepintas dia sebutkan beberapa tokoh, diantaranya: Sulaiman Bakri, hasan Junus, Eddy Mawuntu, Raja Rona Syuaib, Ibrahim Alatas, Rusli Ahmad, – walaupun diantaranya lebih cenderung disebut sebagai penulis/sastrawan ketimbang tokoh teater. Termasuk pula Iskandar leo  (nama samaran Rida K. Lamsi pada waktu itu).

Pada dekade-dekade berikutnya, tentu saja Pekanbaru – seperti disebutkan Bustaman – sudah cukup mampu menyaingi daerah-daerah lain di Indonesia.

Cuma sampai kapankah periode itu bertahan?

Ediruslan mengemukakan beberapa kasus dan kejadian. Bahwa di bagan Siapi-api hanya mampu bertahan sampai tahun 1960-an. Di Rengat tidak banyak berbeda. Begitu pula di daerah-daerah lain yang sudah memiliki group teater sekedarnya. Tapi di balik mulai menurunnya perkembangan teater di daerah-daerah, ternyata Pekanbaru mulai dibanjiri   seniman-seniman teater yang tidak lain aslinya dari daerah-daerah tadi. Maka tersebutlah beberapa tokoh (mungkin tidak ada yang sempat disebutkan, mengingat jumlahnya banyak. Tetapi bukan berarti dilupakan), seperti Bustaman Halimy, Idrus Tintin, Ibrahim Rahsyad, Zainal Abbas, Muchtar Lutfi (sekarang Rektor Unri) Teans Effendy, dan OK Nizami Jamil.

Perkembangan itu, kalau tidak dikatakan menurun, paling tidak seperti pepatah patah tumbuh   hilang berganti. Itulah yang berlangsung hingga sekarang ini.

Walaupun demikian, sejarah telah mencatat pergerakan itu dengan rapi. Terutama di daerah-daerah itu sendiri. Kalau bisa disebutkan, dari Bagan Siapi-api telah menampilkan beberapa tokoh seperti; A. Gafar, Aris, Jamaluddin Rimbo, Muchtar Singkit, BO Hara, Misran Rais, AT Hanafie, dan M. Yunus. Disamping yang sangat menonjol adalah Aldian Arifin – konon kabarnya dia masih  tetap menggalakkan teater modern bersama beberapa tokoh teater lama, setelah sebelumnya aktif di pekanbaru sendiri bersama Ibrahim Sattah dalam “Bengkel Teater Bhayangkara”.

Demikian pula halnya dengan di Rengat – sebelum tokoh-tokohnya hijrah ke Pekanbaru, seperti Idrus Tintin, Bustaman Halimy, Tien Soeparno (sekarang jadi Tindra Rengat – sutradara film) . Di Tembilahan dengan Bakran Dalau, Di Bengkalis bersama Syamsi, demikian pula di DUmai, Taluk Kuantan, Selat Panjang, Dumai dan Bangkinang.

Memasuki dekade 1970-an sampai sekarang, Riau masih tetap begitu-begitu saja. Walaupun masih ada beberapa group teater masa lalu yang bertahan dengankeadaan “kurang gizi” seperti Bengket Teater Bhayangkara”,  Teater Bahana, dan beberapa yang lain. Namun begitu, untuk menyebutkan nama-nama group teater yang pernah bercokol di sini dapat pula dikemukakan seperti Teater Dan dan Laksamana-nya Rusli Not dan Zainal Abidin. Teater Gema-nya Temul Amsal, Group Studi Sastra Teater 74-nya Eddy Rinaldi, Sanggar Susqa-nya A. Anis Abeba, Bengkel Teater Remaja Bilatul Hikmah-nya Agus Ajam, Group Eddy Nouvrial Hasry, Teater Teratai, Teater Putih, Sanggar Shyntiarama, Teater Sema Fakuri, Teater SMPP, Teater Seri Rama, dan masih ada nama-nama lain yang hingga saat ini ‘diragukan” apakah masih atau atau sudah berkubur dengan sendirinya.

Bagai masih terdengar desah nafas yang lelah dari perjalanan peta teater Riau pada waktu yang lalu hingga sekarang. Apa yang telah dibuat Riau dengan teater-nya, sudah bisa dibayangkan bila membolak-balik kembali sejarah seperti diungkapkan di atas, walaupun masih belum lengkap dari semestinya. Corak-corak teater pun telah diperkenalkan cara silih berganti, mulai masa selangitnya sandiwara-sandiwara  semacam “Bintang Surabaya”, atau “Jali-Jali Bintang Tujuh” dengan stambulan atau Dardanella dengan tokoh-tokohnya waktu itu Tan Tjeng Bok, masuk ke teater modern dengan segala coraknya pula seperti Konvensional, absurd, sampai pada warna-warna Putu atau Rendra sekalipun.

Untuk menjajaki kemungkinan kembali dalam pengembangan teater yang lebih serius, tentu saja festival-festival teater seperti yang akan diselenggarakan pada bulan Maret Mendatang akan berperanan pula, walaupun belum menjamin eksistensi teater Riau untuk masa-masa mendatang. Sebab ada kecenderungan group-group teater yang muncul secara insidentil dalam suasana-suasana festival atau lomba, tidak mempunyai akar yang kuat sehingga tidak mampu menjaga kesinambungan keteaterannya.

Mensinyalir hal ini, Ediruslan Pe Amanriza berkeinginan agar teater-teater tradisional yang sudah menapak di Riau pada masa-masa lalu patut dikembangkan seperti Makyong, Mendu, dan lain-lain. Apalagi semacam tokohnya, BM Sjam yang masih hidup,cukup mampu untuk menggalakkannya kembali. Cuma tergantung pada   Perhatian Kabin Kesenian Pendidikan & Kebudayaan yang tentunya punya dana dalam rangka pengembangan nilai-nilai seni yang berbau tradisional itu. (***)

Sumber: Harian Berita Buana, Jakarta, 3 Maret 1981.

teater-riau

Tinggalkan komentar